Pages

Subscribe

Tuesday, 4 March 2014

Wahyu kedua dalam Islam



  Segala puji hanya milik Allah, kita memujinya, meminta pertolongan dan ampunan-Nya. Kami berlindung atas keburukan jiwa dan keburukan amal-amal kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, tak seorangpun mampu memberikan hidayah kepadanya. Kami bersaksi bahwa tiada Illah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul dan utusan-Nya. Shalawat beriringkan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad , keluarganya, sahabat-sahabatnya, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak langkah mereka sampai akhir zaman.
Annisa 115
Sungguh jelas firman Allah di atas, barang siapa yang menentang Rasul-Nya dan mengikuti jalan selain orang-orang mukmin maka Allah akan membiarkan mereka dalam keleluasaan yang telah dikuasainya dan memasukkan mereka ke dalam Jahannam.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan as-Sunnah dan kedudukannya dalam syari’at Islam. Karena sejak zaman dahulu ada pemikiran yang menganggap bahwa masdhar tasyri’ hanyalah al-Qur’an saja, namun ternyata itu salah, dan bahwasanya ayat-ayat dalam al-Qur’an itu mujmal, karenanya  membutuhkan penjelas. Dan penjelas itu ada pada masdhar kedua yaitu as-Sunnah. Dilihat dari sisi keutamaannya, memang as-Sunnah berada di bawah al-Qur’an, karena al-Qur’an lafadznya turun langsung dari Allah, membacanya adalah ibadah, dan manusia tidak akan mampu membuat sesuatu yang seperti al-Qur’an. Dan adapun kesamaan diantara keduanya adalah sama-sama merupakan perintah dari Allah, namun kalau as-Sunnah lafadznya dari Nabi. Dikatakan bahwa as-Sunnah atau al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah al-Qur’an sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah, “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan (sesuatu) yang serupa dengannya (yakni as-Sunnah).”(HR. Abu Dawud)
 Dalam hal ini Dr. Abdul Ghani Abdul Khaliq dalam kitab Buhuts Fi As-sunnah al-Musyarafah yang merupakan ringkasan dari kitab ‘Hujjiyah as-Sunnah’ menyatakan, sungguh as-Sunnah berada satu tingkatan bersama al-Qur’an dari sisi sebagai pedoman dan hujjah terhadap hukum-hukum syar’i. As-Sunnah memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan para umat Nabi Muhammad untuk melaksanakan ibadah kepada Allah yaitu dengan jalan ittiba’ur Rasul. Karena dari situlah kita terhindar dari perkara-perkara bid’ah.

Pengertian as-Sunnah
~ As-Sunnah secara etimologi yaitu:
Metode/ perjalanan baik terpuji atau tercela. Dan di dalam al-Qur’an telah disebutkan pengamalannya.
Ibnu Mandhur berkata: As-Sunnah makna awalnya adalah jalan yang di tempuh oleh para pendahulu yang akhirnya ditempuh oleh orang lain sesudahnya.[1]
Ath-Thanawi berkata: As-Sunnah secara bahasa adalah jalan yang baik (terpuji) maupun jalan yang buruk.[2]
Kita juga mengetahui bahwa jika seseorang memberikan jalan yang baik dalam islam  maka ia mendapatkan pahala dan pahala orang  lain yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebagaimana sabda Rasulullah,
"من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء"
“ Barangsiapa yang memberi contoh yang baik dalam islam, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang lain yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barang siapa yang memberi contoh jelek dalam Islam, maka dia mendapatkan dosanya dan dosa orang lain yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
~ As-Sunnah secara terminologi yaitu:
·         Menurut para Ulama’ Hadits :
Mereka mengatakan bahwa as-Sunnah itu adalah peninggalan Nabi dari perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifatnya yang  mensifatinya baik dari tabi’at atau perjalanannya sesudah kenabian atau sebelum kenabian seperti menyendiri di gua Hiro’ untuk beribadah.[3]
·         Menurut para Ulama’ Ushul:
Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi selain al-Qur’an yaitu dari perbuatan, perkataan, dan ketetapannya. [4]
·         Menurut para Ulama’ Fiqh:
Apa-apa yang ditetapkan Rasulullah untuk amalan-amalan seorang hamba, selain harus mewajibkan baik wajib, haram, sunnah,  mubah, makruh atau selainnya.[5]
Imam Asy-Syathibi berkata,” kata ‘Sunnah’ mencakup juga makna lawan dari ‘Bid’ah’. Maka dikatakanlah, "فلان على السنة " (Fulan berpegang teguh pada as-Sunnah),’ yaitu apabila dia melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang dilakukan Nabi Muhammad, dan dikatakan, "فلان على البدعة " (Fulan berpegang teguh pada Bid’ah)’yaitu apabila dia melakukan kebalikan as-Sunnah.”[6]
         Kedudukan as-Sunnah disisi al-Qur’an sebagai pedoman dan hujjah
Dalam masalah ini, nash-nash al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ para Ulama’ telah menegaskannya dengan dalil-dalil di bawah ini.
·         Dalil dari al-Qur’an
Ali imron: 31
Al-hasyr : 7
An nur: 63
·         Dalil dari as-Sunnah
"اوصيكم بتقوى الله و السمع والطاعة وان عبدا حبشيا, فاءنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا, فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين, تمسكوا بها و عضوا عليها بالنواجد, واياكم ومحدثات الأمور, فاءن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة."      
“ Saya berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa dan tunduk serta patuh ( terhadap pemimpin) walaupun ia seorang budak Ethiopia. Karena barang siapa yang hidup ( dengan umur panjang) di antara kalian, maka dia akan menemukan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ Rasyidin yang diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya erat-erat, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”(HR. Abi Dawud dan Tirmidzi)
·         Dalil dari perkataan para Ulama’ Salaf
Al- Fadhl bin Ziyad berkata,” Saya telah mendengar Ahmad bin Hanbal berkata tatkala ditanya tentang hadits yang meriwayatkan bahwa as-Sunnah menjadi penjelas al-Qur’an, maka dia menjawab, “ Aku tidak berani untuk mengucapkan ini, tetapi as-Sunnah menafsirkan al-Qur’an, mendefinisikan, dan menjelaskannya.”[7]
Al-auza’i, Makhul, Yahya bin Abi Yahya, dan selain mereka berkata,” al-Qur’an jauh lebih membutuhkan hadits daripada hadits membutuhkan al-Qur’an. as-Sunnah merupakan penjelas al-Qur’an, dan al-Qur’an bukan penjelas as-Sunnah.”[8]
Al-Hafizh Abu Umar ibnu Abd al-Barr berkata,” penjelasan dari Nabi ada dua macam yaitu:
Pertama, penjelasan hal-hal yang global dalam al-Qur’an seperti shalat fardhu lima kali berkenaan dengan waktunya, cara sujud dan rukuk, dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Juga seperti penjelasan beliau tentang zakat, batasan dan waktunya, dan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan tentang penjelasan tentang manasik haji. Rasulullah bersabda,
"خذوا عني مناسككم."
“ Ambillah dariku manasik kalian.”[9]
Kedua, tambahan atas hukum yang belum terdapat dalam al-Qur’an, seperti; haramnya menikahi seorang wanita bersama bibinya dari ibu atau bapak, haramnya daging keledai jinak, dan haramnya setiap binatang buas yang bergigi taring, dan lain-lain.”
Dan Allah telah memerintahkan untuk menaati Rasulullah dan mengikutinya secara mutlak tanpa terikat dengan sesuatu sebagaimana Dia memerintahkan kita untuk mengikuti al-Qur’an. Dan Allah tidak mengatakan, “ ( Mengikuti) sesuatu yang sesuai dengan kitab Allah saja,” sebagaimana pengakuan orang-orang yang (hatinya) ragu.[10]
As-Sunnah berada pada urutan kedua sesudah al-Qur’an, karena al-Qur’an Qath’iu Tsubut sedangkan as-Sunnah Dhonniyu Tsubut, dan Qath’i  itu lebih diutamakan daripada Dhanni.[11]
Diantara kedudukan as-Sunnah disisi al-Qur’an[12]  adalah :
a.       Sebagai penguat al-Qur’an.
b.      Sebagai penjelas al-Qur’an.
c.       Sebagai penasakh al-Qur’an.
d.      Ketika as-Sunnah datang dengan hukum yang baru, al-Qur’anpun mendiamkannya.

Perhatian para Ulama’ Salaf Terhadap As-Sunnah
Untuk mengetahui perhatian para Ulama’ Salaf terhadap as-Sunnah maka kita bisa lihat mereka dalam mengerahkan seluruh kesungguhan, kemampuan, dan berbagai macam sarana lainnya secara ilmiah, amaliah, hafalan dan tulisan, kajian dan penyebarannya di khalayak umat Islam. Masa-masa seperti ini (perhatian para Ulama’ terhadap as-Sunnah) hanya terbatas pada masa generasi-generasi yang terbaik seperti pada masa sahabat dan zaman tabi’in serta generasi setelahnya.
·         Perhatian terhadap As-Sunnah pada masa Sahabat
Sangat banyak ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam keadaan mujmal (global) dan tidak terperinci sehingga para sahabat ketika ingin melaksanakan perintah al-Qur’an (yang masih global) harus merujuk kembali kepada Sunnah Nabi untuk mengenal hukum yang bersifat terperinci misal dalam perintah sholat dan zakat. Mereka selalu mengikuti Nabi Muhammad dalam seluruh perbuatan, ibadah, dan mu’amalahnya kecuali yang mereka ketahui menjadi kekhususan Nabi Muhammad. Seperti, mereka belajar dari Nabi tentang hukum shalat, rukun-rukunnya, serta cara pelaksanaannya yaitu mengamalkan sabda Nabi,
"صلوا كما رأيتموني اصلي."
Kalian shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”(HR. Bukhari)
Begitu juga dalam cara menunaikan ibadah haji sabda Nabi,
"خذوا عني مناسككم."
“ Ambillah dariku manasik kalian.” (HR. Muslim)
Semangat mereka dalam mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah telah mencapai batas bahwa mereka saling bergantian mendatangi majlis Rasulullah hari demi hari. Lihatlah Umar bin Khattab, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari, berkata :
" كنت أنا و جار لي من الأنصار في بني أمية بن زيد - و هي من عوالي المدينة - و كنا نتناوب النزول على رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ينزل يومًا و أنزل يومًا، فإذا نزلت جئته بخبر ذلك اليوم من الوحي و غيره و إذا نزل فعل مثل ذلك."
“ Saya dan tetanggaku dari kalangan Anshar tinggal di daerah Bani Umayyah bin Zaid, yang berada di daerah dataran tinggi Madinah- kami saling bergantian untuk turun menemui Rasulullah, dia turun sehari, dan saya turun sehari juga, maka bila saya yang berangkat, maka berita itu saya sampaikan kepadanya, baik berupa wahyu atau lainnya, dan bila dia yang berangkat, maka dia pun melakukan hal yang sama.” (HR. Bukhari)[13]
Demikian juga, sudah menjadi kebiasaan para sahabat bertanya kepada istri-istri Nabi tentang masalah yang berhubungan dengan suami dan istri, karena ilmu mereka tentang hal itu. Dan jika ada masalah yang menghalangi Nabi untuk menjawabnya secara terang-terangan menjelaskan hukum syar’i kepada para wanita, maka Nabi memerintahkan salah satu istrinya untuk menjelaskannya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah tentang cara bersuci bagi wanita yang haidh.[14]
Begitu juga dengan kabilah-kabilah yang jauh dari Madinah, mereka mengutus sebagian anggotanya untuk mendatangi Rasulullah dan mempelajari hukum- hukum Islam dari beliau sehingga mereka pulang kepada kaum mereka sebagai guru dan pembimbing.
Seperti inilah perhatian dari generasi terbaik umat ini terhadap Sunnah Nabi. Para sahabat merasakan besarnya tanggung jawab yang mereka pikul dalam menjaga syari’at baik al-Qur’an atau as-Sunnah untuk menerapkannya, kemudian menyampaikannya kepada umat untuk menunaikan amanah yang mana mereka menjadi umat pilihan untuk tugas tersebut, seperti sabda Nabi,
"بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج."
“ Kalian sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat, dan kalian ceritakanlah (perincian kisah dalam al-Qur’an) dari bani Israil, dan tidak ada dosa bagi kalian (untuk melakukannya).”(HR. Bukhari)
·         Perhatian terhadap As-Sunnah pada zaman Tabi’in dan Generasi setelahnya
Di penghujung era sahabat dan awal masa tabi’in, fitnah, bid’ah dan hawa nafsu mulai bermunculan. Dikarenakan musuh-musuh islam dari kalangan Yahudi, Nasrani, Majusi dan para Filosof telah menodai agama yang disampaikan para sahabat kepada seluruh umat dengan membuat makar dan tipu daya terhadap Islam dan penganutnya. Mereka menghembuskan fitnah, keraguan dan syubhat diantara kaum muslimin, dan khususnya kepada mu’allaf  yang baru mengenal Islam. Mengapa mereka mengambil cara tersebut untuk menghancurkan Islam? karena menurut mereka, ketika permusuhan militer yang mereka lakukan tidak memberikan manfaat untuk menghancurkan perkembangan Islam.
Awal mula fitnah tersebut ditandai dengan pecahnya pintu yang diriwayatkan oleh Hudzaifah dalam riwayat Imam Muslim, tatkala Amirul Mukminin Umar bin Khatthab bertanya kepadanya tentang fitnah yang digambarkan oleh Rasulullah bergelombang seperti ombak laut, maka Hudzaifah berkata, “ Tidak ada hubungannya fitnah denganmu wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya antara fitnah itu dengan dirimu ada sebuah pintu yang tertutup. “Umar bertanya lagi,” Apakah pintu tersebut (nanti) akan dibuka atau dihancurkan?” Hudzaifah menjawab,”(Tdak dibuka), tetapi pecah hancur.” Umar berkata,” Berarti pintu itu tidak bisa menutup kembali.” [15] Pada hadits ini Hudzaifah menjelaskan bahwa Umar mengetahui dialah pintu tersebut, dan pintu ini pecah dengan terbunuhnya Umar. Karena melihat dalam diri Umar adalah seorang yang sadar sekali, sehingga tidaklah bibit fitnah atau kebid’ahan akan muncul di sini atau di sana melainkan dia pasti menumpasnya sampai ke dalam akar-akarnya.
Kemudian pada masa setelah terbunuhnya Umar, ketika tersebarnya fitnah, kebid’ahan dan hawa nafsu, seperti fitnah melalui tangan Ibnu Saba’ yang menjadi asas dari seluruh fitnah dalam Islam, kemudian fitnah muncul beruntun hingga melahirkan bid’ah Qadariyah, Jahmiyah, Rafidhah, Mu’tazilah dan lain-lain. Generasi setelah sahabat yang mulia dari kalangan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan orang setelah mereka dari generasi terbaik, mulai mengambil cara dan medan lain dalam menjaga dan memperhatikan as-Sunnah sesuai sarana yang mereka miliki di zaman tersebut. Medan-medan tersebut dapat digambarkan dalam hal-hal berikut:
a.       Semangat yang tinggi dalam menghafal hadits.
b.      Verifikasi sanad dan matan.
Dilihat dari sisi sanad dan matan yang telah sampai kepada kita, dikatakan bahwa as-Sunnah itu adakalanya Qath’iu Tsubut dan Qath’iu Dalalah (yaitu hadits Mutawatir) yang tak perlu lagi diragukan keshohihan dan kejelasan matannya, atau Dhonniyu Tsubut dan Dhonniyu Dalalah ( yaitu seperti hadits Ahad) yang kejelasan atau keshohihan sanad dan matannya perlu dikaji lebih dalam lagi.[16]
c.       Menganalisa kredibilitas periwayat, hingga dapat melahirkan spesialisasi ilmu tentang kredibilitas perawi (Ilmu Ar-Rijal).
d.      Kodifikasi as-Sunnah yang dimulai dengan lembaran-lembaran seperti yang terkenal pada masa nabawi yaitu Ash-Shohifah Ash-Shodiqoh yang ditulis dan dikumpulkan oleh Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash dengan jumlah seribu hadits. [17]  Dan setelah itu berubah menjadi juz-juz kecil yang kemudian berkembang kepada karya tulis yang berisi bab-bab pembahasan dan tertata secara urut seperti al-Kutub as-Sittah, dan al-Muwaththa’ dan lain-lain, ataupun bersandarkan Masanid seperti Musnad Imam Ahmad dan lain-lain.
Perkataan Para Ulama’ tentang As-Sunnah
Membaca perkataan para Imam madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, Madzhab Hambali), itu sangat penting dan manfaatnya besar bagi kita agar selalu mengikuti as-Sunnah dan meninggalkan perkataan serta pendapat-pendapat yang menyelisihi as-Sunnah walaupun bersumber daripada mereka sendiri (para Imam Madzhab). Hal ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang jauh ilmu agama dan selalu taqlid buta (mengikuti tanpa melihat hujjah), dimana mereka sering berkata,” Kalau bukan pendapat Imam Syafi’i, maka aku akan menolaknya” atau “ Aku hanya akan memakai pendapat Imam Hambali, yang selainnya aku enggan.”
Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali juga Imam-imam yang lainnya, tidak pernah sekalipun mengajarkan kepada para pengikutnya, untuk fanatik buta kepada mereka. Berikut perkataan dan sedikit biografi mereka, agar kita semakin istiqamah dalam menegakkan as-Sunnah dan meninggalkan pendapat yang menyelisihinya.
a)      Abu Hanifah ( Imam Madzhab Hanafi )
Namanya Nu’man bin Tsabit, lahir pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah An-Nu’man. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah dan zuhud.[18]
Beliau mengatakan bahwa:
·         “ Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi dia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Bar dalam Al-Intiqa’u fi Fadha’ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i hal. 145)
·         “ Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan khabar Rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku.”(Al-Fulani di dalam Al-Iqazh, hal. 50)
·         “ Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiyah 1/ 63)
b)      Malik bin Anas (Imam Madzhab Maliki)
Namanya Malik bin Anas bin Abu Amir lahir pada tahun 93 H (712 M ) di Madinah, Imam Malik terkenal dengan Imam dalam bidang hadits Rasulullah.[19]
Beliau mengatakan bahwa:
·         “ Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah.”(Ibnu Abdil Bar di dalam Al-Jami’, 2/ 32)
·         “ Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang  ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/ 227)
c)      Asy-Syafi’i (Imam Madzhab Syafi’i)
Namanya Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, beliau keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib dilahirkan di Gaza Syria pada tahun 152 H bersamaan dengan wafatnya Abu Hanifah. Beliaulah orang yang pertama kali berkarya dalam bidang Ushul Fiqh dan Ahkam Al-Qur’an.[20]
Adapun perkataan- perkataan yang diambil dari Imam Syafi’i di dalam hal ini lebih banyak dan para pengikutnya pun banyak yang mengamalkannya. Di antaranya adalah:
·         “ Tidak ada seorangpun, kecuali dia wajib bermadzhab dengan Sunnah Rasulullah dan mengikutinya. Adapun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal daripada Rasulullah tetapi bertentangan dengan ucapanku, maka peganglah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah ucapanku.”(Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)
·         “ Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal. 68)
d)     Ahmad bin Hambal ( Imam Madzhab Hambali )
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, lahirnya di Baghdad, pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah. Imam Ahmad adalah seorang Imam yang ketika berumur enam belas tahun sudah mulai mencari hadits dan menghafalnya.[21]
·         “ Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
·         “ Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits).” (Ibnul Abdil Bar di dalam Al-Jami’, 2/149)
·         “ Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah , maka sesungguhnya dia telah berada di tepi kehancuran.”(Ibnul Jauzi, 182)
Jadi sesungguhnya al-Qur’an membutuhkan as-Sunnah (karena ia sebagai penjelas al-Qur’an; bahkan as-Sunnah itu sama seperti al-Qur’an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Maka tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menyelisihi salah satu dari keduanya. Dan barang siapa yang tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah. Kita harus berpegang teguh kepada al-Qur’;an dan as-Sunnah yang akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Termaktub dalam firman Allah al-Qur’an surat al-Hijr ayat 9 bahwa as-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya. Maka tidak boleh bagi kita untuk membedakan keduanya.
Wallahu a’lam bishshowab.
              Referensi
o   Al-Qur’anul Karim
o   Shohih  al-Bukhari, Muhammad Isma’il al-Bukhari
o   Shohih Muslim, Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi
o   Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili
o   Al-muwafaqat, Asy-Syathibi
o   Ihkamul Ahkam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id
o   Madkhal Liddirosatil Fiqhi, Manna’ul Qatthan
o   Sarhu Sunnah, Abu Muhammad Al-Husain bin Al- baghwi
o   Dirosatul Firoq, Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Ali An-Nur.
o   Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, Dr. Muhammad Az-Zahrani.
o   Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Syeikh Muhammad Sa’id Mursi
o   60 Biografi Ulama’ Salaf, Syaikh Ahmad Farid


[1] Dirosatul Firoq, Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Ali An-Nur.
[2] Dirosatul Firoq, Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Ali An-Nur.
[3] Sarhu Sunnah, Abu Muhammad Al-Husain bin Al- baghwi, 1/ 11. Madkhal Liddirosatil Fiqhi, Manna’ul Qatthan, hal. 88.
[4] Sarhu Sunnah, Abu Muhammad Al-Husain bin Al-Baghwi, 1/ 12. Ibid
[5] Sarhu Sunnah, Abu Muhammad Al-Husain bin Al-Baghwi, 1/ 12. Madkhal Liddirosatil Fiqhi, Manna’ul Qatthan, hal. 87.
[6] Al-muwafaqat, Asy-Syathibi, 4/ 3-4.
[7] Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, Dr. Muhammad Az-Zahrani
[8] Ibid
[9] Ihkamul Ahkam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, 1/ 331
[10] Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, Dr. Muhammad Az-Zahrani.
[11] Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, hal. 37.
[12] Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, hal. 38-39.
[13] Shahih Bukhari, Bab at- Tanawub fi al-‘ilm, Muhammad bin Ismail al- Bukhari, 1/ 184.
[14] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, lihat Shohih  al-Bukhari, Kitab al-haidh, Muhammad Isma’il al-Bukhari, 1/ 414, hal 314.
[15] Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Shohih Muslim, Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, Kitab Fitan wa Asyrath as-Sa’ah, Bab al-Fitnah allati Tamuju Kamauji al-Bahr, 4/ 2318, no. 26.
[16] Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, hal.37.
[17] Madkhal Liddirosatil Fiqhi,  Manna’ul Qatthan, hal. 95.
[18] Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Syeikh Muhammad Sa’id Mursi
[19] 60 Biografi Ulama’ Salaf, Syaikh Ahmad Farid, hal. 260.
[20] 60 Biografi Ulama’ Salaf, Syaikh Ahmad Farid, hal. 355.
[21] 60 Biografi Ulama’ Salaf, Syaikh Ahmad Farid, hal. 434.