Segala puji hanya milik
Allah, kita memujinya, meminta pertolongan dan ampunan-Nya. Kami berlindung
atas keburukan jiwa dan keburukan amal-amal kami. Barang siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang
disesatkan Allah, tak seorangpun mampu memberikan hidayah kepadanya. Kami
bersaksi bahwa tiada Illah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul dan
utusan-Nya. Shalawat beriringkan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad , keluarganya, sahabat-sahabatnya, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan
orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak langkah mereka sampai akhir zaman.
Annisa 115
Sungguh jelas firman Allah di atas, barang siapa yang menentang Rasul-Nya
dan mengikuti jalan selain orang-orang mukmin maka Allah akan membiarkan mereka
dalam keleluasaan yang telah dikuasainya dan memasukkan mereka ke dalam Jahannam.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan membahas hal-hal yang
berkaitan dengan as-Sunnah dan kedudukannya dalam syari’at Islam. Karena sejak
zaman dahulu ada pemikiran yang menganggap bahwa masdhar tasyri’ hanyalah al-Qur’an
saja, namun ternyata itu salah, dan bahwasanya ayat-ayat dalam al-Qur’an itu
mujmal, karenanya membutuhkan penjelas.
Dan penjelas itu ada pada masdhar kedua yaitu as-Sunnah. Dilihat dari sisi
keutamaannya, memang as-Sunnah berada di bawah al-Qur’an, karena al-Qur’an
lafadznya turun langsung dari Allah, membacanya adalah ibadah, dan manusia
tidak akan mampu membuat sesuatu yang seperti al-Qur’an. Dan adapun kesamaan
diantara keduanya adalah sama-sama merupakan perintah dari Allah, namun kalau
as-Sunnah lafadznya dari Nabi. Dikatakan bahwa as-Sunnah atau al-Hadits
merupakan wahyu kedua setelah al-Qur’an sebagaimana yang disebutkan dalam sabda
Rasulullah, “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan (sesuatu)
yang serupa dengannya (yakni as-Sunnah).”(HR. Abu Dawud)
Dalam hal ini Dr. Abdul
Ghani Abdul Khaliq dalam kitab Buhuts Fi As-sunnah al-Musyarafah yang merupakan
ringkasan dari kitab ‘Hujjiyah as-Sunnah’ menyatakan, sungguh as-Sunnah
berada satu tingkatan bersama al-Qur’an dari sisi sebagai pedoman dan hujjah
terhadap hukum-hukum syar’i. As-Sunnah memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan
para umat Nabi Muhammad untuk melaksanakan ibadah kepada Allah yaitu dengan
jalan ittiba’ur Rasul. Karena dari situlah kita terhindar dari perkara-perkara
bid’ah.
Pengertian as-Sunnah
~ As-Sunnah
secara etimologi yaitu:
Metode/
perjalanan baik terpuji atau tercela. Dan di dalam al-Qur’an telah disebutkan pengamalannya.
Ibnu
Mandhur berkata: As-Sunnah makna awalnya adalah jalan yang di tempuh oleh para
pendahulu yang akhirnya ditempuh oleh orang lain sesudahnya.[1]
Ath-Thanawi
berkata: As-Sunnah secara bahasa adalah jalan yang baik (terpuji) maupun jalan
yang buruk.[2]
Kita juga mengetahui bahwa jika seseorang memberikan jalan yang
baik dalam islam maka ia mendapatkan
pahala dan pahala orang lain yang
mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebagaimana sabda Rasulullah,
"من سن في الإسلام سنة حسنة فله
أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة
سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء"
“ Barangsiapa yang memberi contoh yang baik dalam islam, maka dia
mendapatkan pahalanya dan pahala orang lain yang mengikutinya tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Barang siapa yang memberi contoh jelek dalam Islam,
maka dia mendapatkan dosanya dan dosa orang lain yang mengikutinya tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR.
Muslim)
~ As-Sunnah secara terminologi yaitu:
·
Menurut
para Ulama’ Hadits :
Mereka mengatakan bahwa as-Sunnah itu adalah peninggalan Nabi dari perkataan,
perbuatan, ketetapan, dan sifatnya yang mensifatinya
baik dari tabi’at atau perjalanannya sesudah kenabian atau sebelum kenabian
seperti menyendiri di gua Hiro’ untuk beribadah.[3]
·
Menurut
para Ulama’ Ushul:
Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi selain al-Qur’an yaitu dari
perbuatan, perkataan, dan ketetapannya. [4]
·
Menurut
para Ulama’ Fiqh:
Apa-apa yang ditetapkan Rasulullah untuk amalan-amalan seorang
hamba, selain harus mewajibkan baik wajib, haram, sunnah, mubah, makruh atau selainnya.[5]
Imam Asy-Syathibi berkata,” kata ‘Sunnah’ mencakup juga makna lawan
dari ‘Bid’ah’. Maka dikatakanlah, "فلان على السنة " (Fulan berpegang teguh pada as-Sunnah),’ yaitu apabila dia
melakukan sesuatu yang sesuai dengan yang dilakukan Nabi Muhammad, dan
dikatakan, "فلان
على البدعة " (Fulan
berpegang teguh pada Bid’ah)’yaitu apabila dia melakukan kebalikan as-Sunnah.”[6]
Kedudukan as-Sunnah disisi al-Qur’an
sebagai pedoman dan hujjah
Dalam masalah ini, nash-nash al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ para
Ulama’ telah menegaskannya dengan dalil-dalil di bawah ini.
·
Dalil dari al-Qur’an
Ali imron: 31
Al-hasyr : 7
An nur: 63
·
Dalil dari as-Sunnah
"اوصيكم بتقوى الله و السمع والطاعة وان عبدا حبشيا, فاءنه من
يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا, فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين,
تمسكوا بها و عضوا عليها بالنواجد, واياكم ومحدثات الأمور, فاءن كل محدثة بدعة وكل
بدعة ضلالة."
“ Saya berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa dan tunduk serta
patuh ( terhadap pemimpin) walaupun ia seorang budak Ethiopia. Karena barang
siapa yang hidup ( dengan umur panjang) di antara kalian, maka dia akan
menemukan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan
Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ Rasyidin yang diberi petunjuk. Berpegang teguhlah
dengannya erat-erat, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah
perkara-perkara yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”(HR.
Abi Dawud dan Tirmidzi)
·
Dalil dari perkataan para Ulama’ Salaf
Al- Fadhl bin Ziyad berkata,” Saya telah mendengar Ahmad bin Hanbal
berkata tatkala ditanya tentang hadits yang meriwayatkan bahwa as-Sunnah
menjadi penjelas al-Qur’an, maka dia menjawab, “ Aku tidak berani untuk
mengucapkan ini, tetapi as-Sunnah menafsirkan al-Qur’an, mendefinisikan, dan
menjelaskannya.”[7]
Al-auza’i, Makhul, Yahya bin Abi Yahya, dan selain mereka berkata,”
al-Qur’an jauh lebih membutuhkan hadits daripada hadits membutuhkan al-Qur’an.
as-Sunnah merupakan penjelas al-Qur’an, dan al-Qur’an bukan penjelas as-Sunnah.”[8]
Al-Hafizh Abu Umar ibnu Abd al-Barr berkata,” penjelasan dari Nabi
ada dua macam yaitu:
Pertama, penjelasan hal-hal
yang global dalam al-Qur’an seperti shalat fardhu lima kali berkenaan dengan
waktunya, cara sujud dan rukuk, dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Juga
seperti penjelasan beliau tentang zakat, batasan dan waktunya, dan harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya, dan tentang penjelasan tentang manasik haji. Rasulullah
bersabda,
"خذوا عني مناسككم."
“ Ambillah dariku manasik kalian.”[9]
Kedua, tambahan atas
hukum yang belum terdapat dalam al-Qur’an, seperti; haramnya menikahi seorang
wanita bersama bibinya dari ibu atau bapak, haramnya daging keledai jinak, dan
haramnya setiap binatang buas yang bergigi taring, dan lain-lain.”
Dan Allah telah memerintahkan untuk menaati Rasulullah dan
mengikutinya secara mutlak tanpa terikat dengan sesuatu sebagaimana Dia memerintahkan
kita untuk mengikuti al-Qur’an. Dan Allah tidak mengatakan, “ ( Mengikuti)
sesuatu yang sesuai dengan kitab Allah saja,” sebagaimana pengakuan orang-orang
yang (hatinya) ragu.[10]
As-Sunnah berada pada urutan kedua sesudah al-Qur’an, karena al-Qur’an
Qath’iu Tsubut sedangkan as-Sunnah Dhonniyu Tsubut, dan Qath’i
itu lebih diutamakan daripada Dhanni.[11]
Diantara kedudukan as-Sunnah disisi al-Qur’an[12] adalah :
a.
Sebagai
penguat al-Qur’an.
b.
Sebagai
penjelas al-Qur’an.
c.
Sebagai
penasakh al-Qur’an.
d.
Ketika
as-Sunnah datang dengan hukum yang baru, al-Qur’anpun mendiamkannya.
Perhatian para Ulama’ Salaf Terhadap As-Sunnah
Untuk mengetahui perhatian para Ulama’ Salaf terhadap as-Sunnah
maka kita bisa lihat mereka dalam mengerahkan seluruh kesungguhan, kemampuan,
dan berbagai macam sarana lainnya secara ilmiah, amaliah, hafalan dan tulisan,
kajian dan penyebarannya di khalayak umat Islam. Masa-masa seperti ini (perhatian
para Ulama’ terhadap as-Sunnah) hanya terbatas pada masa generasi-generasi yang
terbaik seperti pada masa sahabat dan zaman tabi’in serta generasi setelahnya.
·
Perhatian terhadap As-Sunnah pada masa Sahabat
Sangat banyak ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan dalam keadaan
mujmal (global) dan tidak terperinci sehingga para sahabat ketika ingin melaksanakan
perintah al-Qur’an (yang masih global) harus merujuk kembali kepada Sunnah Nabi
untuk mengenal hukum yang bersifat terperinci misal dalam perintah sholat dan
zakat. Mereka selalu mengikuti Nabi Muhammad dalam seluruh perbuatan, ibadah,
dan mu’amalahnya kecuali yang mereka ketahui menjadi kekhususan Nabi Muhammad.
Seperti, mereka belajar dari Nabi tentang hukum shalat, rukun-rukunnya, serta
cara pelaksanaannya yaitu mengamalkan sabda Nabi,
"صلوا
كما رأيتموني اصلي."
“ Kalian shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”(HR. Bukhari)
Begitu
juga dalam cara menunaikan ibadah haji sabda Nabi,
"خذوا عني مناسككم."
“ Ambillah dariku manasik kalian.” (HR. Muslim)
Semangat mereka dalam mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah telah
mencapai batas bahwa mereka saling bergantian mendatangi majlis Rasulullah hari
demi hari. Lihatlah Umar bin Khattab, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh
Bukhari, berkata :
" كنت
أنا و جار لي من الأنصار في بني أمية بن زيد - و هي من
عوالي المدينة - و كنا نتناوب النزول على رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ينزل
يومًا و أنزل يومًا، فإذا نزلت جئته بخبر ذلك اليوم من الوحي و غيره و إذا نزل فعل
مثل ذلك."
“
Saya dan tetanggaku dari kalangan Anshar tinggal di daerah Bani Umayyah bin
Zaid, yang berada di daerah dataran tinggi Madinah- kami saling bergantian
untuk turun menemui Rasulullah, dia turun sehari, dan saya turun sehari juga,
maka bila saya yang berangkat, maka berita itu saya sampaikan kepadanya, baik
berupa wahyu atau lainnya, dan bila dia yang berangkat, maka dia pun melakukan
hal yang sama.” (HR. Bukhari)[13]
Demikian juga, sudah menjadi kebiasaan para sahabat bertanya kepada
istri-istri Nabi tentang masalah yang berhubungan dengan suami dan istri,
karena ilmu mereka tentang hal itu. Dan jika ada masalah yang menghalangi Nabi untuk
menjawabnya secara terang-terangan menjelaskan hukum syar’i kepada para wanita,
maka Nabi memerintahkan salah satu istrinya untuk menjelaskannya. Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Aisyah tentang cara bersuci bagi wanita yang haidh.[14]
Begitu juga dengan kabilah-kabilah yang jauh dari Madinah, mereka
mengutus sebagian anggotanya untuk mendatangi Rasulullah dan mempelajari hukum-
hukum Islam dari beliau sehingga mereka pulang kepada kaum mereka sebagai guru
dan pembimbing.
Seperti inilah perhatian dari generasi terbaik umat ini terhadap
Sunnah Nabi. Para sahabat merasakan besarnya tanggung jawab yang mereka pikul
dalam menjaga syari’at baik al-Qur’an atau as-Sunnah untuk menerapkannya, kemudian
menyampaikannya kepada umat untuk menunaikan amanah yang mana mereka menjadi
umat pilihan untuk tugas tersebut, seperti sabda Nabi,
"بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني
إسرائيل ولا حرج."
“ Kalian sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat, dan kalian
ceritakanlah (perincian kisah dalam al-Qur’an) dari bani Israil, dan tidak ada
dosa bagi kalian (untuk melakukannya).”(HR.
Bukhari)
·
Perhatian terhadap As-Sunnah pada zaman Tabi’in dan Generasi
setelahnya
Di penghujung era sahabat dan awal masa tabi’in, fitnah, bid’ah dan
hawa nafsu mulai bermunculan. Dikarenakan musuh-musuh islam dari kalangan Yahudi,
Nasrani, Majusi dan para Filosof telah menodai agama yang disampaikan para
sahabat kepada seluruh umat dengan membuat makar dan tipu daya terhadap Islam
dan penganutnya. Mereka menghembuskan fitnah, keraguan dan syubhat diantara
kaum muslimin, dan khususnya kepada mu’allaf yang baru mengenal Islam. Mengapa mereka
mengambil cara tersebut untuk menghancurkan Islam? karena menurut mereka,
ketika permusuhan militer yang mereka lakukan tidak memberikan manfaat untuk
menghancurkan perkembangan Islam.
Awal mula fitnah tersebut ditandai dengan pecahnya pintu yang
diriwayatkan oleh Hudzaifah dalam riwayat Imam Muslim, tatkala Amirul Mukminin
Umar bin Khatthab bertanya kepadanya tentang fitnah yang digambarkan oleh
Rasulullah bergelombang seperti ombak laut, maka Hudzaifah berkata, “ Tidak ada
hubungannya fitnah denganmu wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya antara fitnah
itu dengan dirimu ada sebuah pintu yang tertutup. “Umar bertanya lagi,” Apakah
pintu tersebut (nanti) akan dibuka atau dihancurkan?” Hudzaifah menjawab,”(Tdak
dibuka), tetapi pecah hancur.” Umar berkata,” Berarti pintu itu tidak bisa
menutup kembali.” [15]
Pada hadits ini Hudzaifah menjelaskan bahwa Umar mengetahui dialah pintu
tersebut, dan pintu ini pecah dengan terbunuhnya Umar. Karena melihat dalam
diri Umar adalah seorang yang sadar sekali, sehingga tidaklah bibit fitnah atau
kebid’ahan akan muncul di sini atau di sana melainkan dia pasti menumpasnya
sampai ke dalam akar-akarnya.
Kemudian pada masa setelah terbunuhnya Umar, ketika tersebarnya
fitnah, kebid’ahan dan hawa nafsu, seperti fitnah melalui tangan Ibnu Saba’ yang
menjadi asas dari seluruh fitnah dalam Islam, kemudian fitnah muncul beruntun
hingga melahirkan bid’ah Qadariyah, Jahmiyah, Rafidhah, Mu’tazilah dan
lain-lain. Generasi setelah sahabat yang mulia dari kalangan tabi’in,
tabi’ut tabi’in dan orang setelah mereka dari generasi terbaik, mulai mengambil
cara dan medan lain dalam menjaga dan memperhatikan as-Sunnah sesuai sarana
yang mereka miliki di zaman tersebut. Medan-medan tersebut dapat digambarkan
dalam hal-hal berikut:
a.
Semangat
yang tinggi dalam menghafal hadits.
b.
Verifikasi
sanad dan matan.
Dilihat
dari sisi sanad dan matan yang telah sampai kepada kita, dikatakan bahwa as-Sunnah
itu adakalanya Qath’iu Tsubut dan Qath’iu Dalalah (yaitu hadits Mutawatir)
yang tak perlu lagi diragukan keshohihan dan kejelasan matannya, atau Dhonniyu
Tsubut dan Dhonniyu Dalalah ( yaitu seperti hadits Ahad) yang
kejelasan atau keshohihan sanad dan matannya perlu dikaji lebih dalam lagi.[16]
c.
Menganalisa
kredibilitas periwayat, hingga dapat melahirkan spesialisasi ilmu tentang
kredibilitas perawi (Ilmu Ar-Rijal).
d.
Kodifikasi
as-Sunnah yang dimulai dengan lembaran-lembaran seperti yang terkenal pada masa
nabawi yaitu Ash-Shohifah Ash-Shodiqoh yang ditulis dan
dikumpulkan oleh Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash dengan jumlah seribu hadits. [17] Dan setelah itu berubah menjadi juz-juz kecil
yang kemudian berkembang kepada karya tulis yang berisi bab-bab pembahasan dan
tertata secara urut seperti al-Kutub as-Sittah, dan al-Muwaththa’ dan
lain-lain, ataupun bersandarkan Masanid seperti Musnad Imam Ahmad dan
lain-lain.
Perkataan Para Ulama’ tentang As-Sunnah
Membaca perkataan para Imam madzhab yang empat (Madzhab Hanafi,
Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, Madzhab Hambali), itu sangat penting dan
manfaatnya besar bagi kita agar selalu mengikuti as-Sunnah dan meninggalkan
perkataan serta pendapat-pendapat yang menyelisihi as-Sunnah walaupun bersumber
daripada mereka sendiri (para Imam Madzhab). Hal ini merupakan bantahan
terhadap orang-orang yang jauh ilmu agama dan selalu taqlid buta (mengikuti
tanpa melihat hujjah), dimana mereka sering berkata,” Kalau bukan pendapat Imam
Syafi’i, maka aku akan menolaknya” atau “ Aku hanya akan memakai pendapat Imam
Hambali, yang selainnya aku enggan.”
Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali juga Imam-imam yang
lainnya, tidak pernah sekalipun mengajarkan kepada para pengikutnya, untuk
fanatik buta kepada mereka. Berikut perkataan dan sedikit biografi mereka, agar
kita semakin istiqamah dalam menegakkan as-Sunnah dan meninggalkan pendapat
yang menyelisihinya.
a)
Abu Hanifah
( Imam Madzhab Hanafi )
Namanya
Nu’man bin Tsabit, lahir pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, tahun 80 H
di Kufah dan wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i. Beliau
lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah An-Nu’man. Abu Hanifah adalah seorang
mujtahid yang ahli ibadah dan zuhud.[18]
Beliau
mengatakan bahwa:
·
“
Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi
dia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Bar dalam
Al-Intiqa’u fi Fadha’ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i hal. 145)
·
“
Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan
khabar Rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku.”(Al-Fulani di dalam
Al-Iqazh, hal. 50)
·
“
Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di
dalam Al-Hasyiyah 1/ 63)
b)
Malik
bin Anas (Imam Madzhab Maliki)
Namanya
Malik bin Anas bin Abu Amir lahir pada tahun 93 H (712 M ) di Madinah, Imam Malik
terkenal dengan Imam dalam bidang hadits Rasulullah.[19]
Beliau
mengatakan bahwa:
·
“
Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka
perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah,
ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah,
tinggalkanlah.”(Ibnu Abdil Bar di dalam Al-Jami’, 2/ 32)
·
“
Tidak ada seorang pun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali dari
perkataannya itu ada yang diambil dan ada yang
ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Ibnu Abdil
Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/ 227)
c)
Asy-Syafi’i
(Imam Madzhab Syafi’i)
Namanya
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, beliau keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib
dilahirkan di Gaza Syria pada tahun 152 H bersamaan dengan wafatnya Abu Hanifah.
Beliaulah orang yang pertama kali berkarya dalam bidang Ushul Fiqh dan Ahkam
Al-Qur’an.[20]
Adapun
perkataan- perkataan yang diambil dari Imam Syafi’i di dalam hal ini lebih
banyak dan para pengikutnya pun banyak yang mengamalkannya. Di antaranya adalah:
·
“
Tidak ada seorangpun, kecuali dia wajib bermadzhab dengan Sunnah Rasulullah dan
mengikutinya. Adapun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan
itu berasal daripada Rasulullah tetapi bertentangan dengan ucapanku, maka
peganglah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah ucapanku.”(Tarikhu
Damsyiq karya Ibnu Asakir, 15/1/3)
·
“
Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkannya, hanya karena mengikuti perkataan seseorang.”(Ibnul Qayyim,
2/361, dan Al-Fulani, hal. 68)
d)
Ahmad
bin Hambal ( Imam Madzhab Hambali )
Nama
lengkap beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, lahirnya di Baghdad,
pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah. Imam Ahmad adalah seorang Imam yang
ketika berumur enam belas tahun sudah mulai mencari hadits dan menghafalnya.[21]
·
“
Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i,
Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113
dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
·
“
Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semuanya adalah
pendapat, dan ia bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di
dalam atsar-atsar (hadits-hadits).” (Ibnul Abdil Bar di dalam Al-Jami’, 2/149)
·
“
Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah , maka sesungguhnya dia telah
berada di tepi kehancuran.”(Ibnul Jauzi, 182)
Jadi sesungguhnya al-Qur’an membutuhkan as-Sunnah (karena ia
sebagai penjelas al-Qur’an; bahkan as-Sunnah itu sama seperti al-Qur’an dari
sisi wajib ditaati dan diikuti. Maka tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan
hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk
menyelisihi salah satu dari keduanya. Dan barang siapa yang tidak menjadikannya
sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah. Kita
harus berpegang teguh kepada al-Qur’;an dan as-Sunnah yang akan menjaga kita
dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya
berlaku sampai hari kiamat. Termaktub dalam firman Allah al-Qur’an surat
al-Hijr ayat 9 bahwa as-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’, yang
terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya. Maka tidak boleh
bagi kita untuk membedakan keduanya.
Wallahu a’lam bishshowab.
Referensi
o
Al-Qur’anul
Karim
o
Shohih
al-Bukhari, Muhammad Isma’il al-Bukhari
o
Shohih Muslim, Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi
o
Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili
o
Al-muwafaqat, Asy-Syathibi
o
Ihkamul Ahkam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id
o
Madkhal Liddirosatil Fiqhi, Manna’ul Qatthan
o
Sarhu Sunnah, Abu Muhammad Al-Husain bin Al- baghwi
o
Dirosatul Firoq, Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Ali An-Nur.
o
Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, Dr. Muhammad
Az-Zahrani.
o
Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Syeikh
Muhammad Sa’id Mursi
o
60 Biografi Ulama’ Salaf, Syaikh Ahmad Farid
[1]
Dirosatul Firoq, Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Ali An-Nur.
[2]
Dirosatul Firoq, Tim Ulin Nuha Ma’had ‘Ali An-Nur.
[3]
Sarhu Sunnah, Abu Muhammad Al-Husain bin Al- baghwi, 1/ 11. Madkhal
Liddirosatil Fiqhi, Manna’ul Qatthan, hal. 88.
[4]
Sarhu Sunnah, Abu Muhammad Al-Husain bin Al-Baghwi, 1/ 12. Ibid
[5] Sarhu
Sunnah, Abu Muhammad Al-Husain bin Al-Baghwi, 1/ 12. Madkhal Liddirosatil
Fiqhi, Manna’ul Qatthan, hal. 87.
[6] Al-muwafaqat,
Asy-Syathibi, 4/ 3-4.
[7] Ensiklopedia
Kitab-kitab Rujukan Hadits, Dr. Muhammad Az-Zahrani
[8] Ibid
[9] Ihkamul
Ahkam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, 1/ 331
[10]
Ensiklopedia Kitab-kitab Rujukan Hadits, Dr. Muhammad Az-Zahrani.
[11]
Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, hal. 37.
[12]
Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, hal. 38-39.
[13]
Shahih Bukhari, Bab at- Tanawub fi al-‘ilm, Muhammad bin Ismail al- Bukhari, 1/
184.
[14]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, lihat Shohih
al-Bukhari, Kitab al-haidh, Muhammad Isma’il al-Bukhari, 1/ 414, hal
314.
[15]
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, Shohih Muslim, Muslim bin Hajjaj
an-Naisaburi, Kitab Fitan wa Asyrath as-Sa’ah, Bab al-Fitnah allati Tamuju
Kamauji al-Bahr, 4/ 2318, no. 26.
[16]
Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, hal.37.
[17]
Madkhal Liddirosatil Fiqhi, Manna’ul
Qatthan, hal. 95.
[18] Tokoh-tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, Syeikh Muhammad Sa’id Mursi
[19]
60 Biografi Ulama’ Salaf, Syaikh Ahmad Farid, hal. 260.
[20]
60 Biografi Ulama’ Salaf, Syaikh Ahmad Farid, hal. 355.
[21]
60 Biografi Ulama’ Salaf, Syaikh Ahmad Farid, hal. 434.
1 comments:
makasih, bagi-bagi ilmunya.....
Post a Comment