Pages

Subscribe

Saturday, 20 September 2014

Menyemir Rambut dengan Warna Hitam bagi Wanita, bolehkah?



Oleh: Khodijah Mufidatun Tammah

            Allah Ta’ala menjadikan berbagai perhiasan yang dhohir maupun batin bagi seorang wanita untuk  menyempurnakan kecantikan dan kemolekannya. Diantara perhiasan yang ada pada diri wanita adalah rambutnya yang merupakan mahkota baginya.
            Namun Allah Ta’ala juga tetapkan dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia, rambut hitam dan indah itu memutih. Sebagian wanita tidak ingin kehilangan keindahan yang dimilikinya hingga berusaha mengembalikan warna hitam pada rambutnya yang telah memutih itu. Padahal Rasulullah r bersabda,
" لا تَنْتِفوا الشَّيْبَ ، فإِنه ما من مسلم يَشِيبُ شَيبة في الإِسلام ، إِلا كانت له نورا يومَ القيامة."
            Janganlah kalian mencabuti uban, tak seorang muslim pun memiliki uban, kecuali esok hari pada hari kiamat akan menjadi cahaya baginya.” (HR. Abu Dawud)[1]
            Oleh sebab itu, cara kita mempertahankan cahaya itu agar tetap memilikinya dengan mencelup atau menyemirnya dengan warna lain, dan hal ini disunnahkan, sebagaiamana sabda Rasulullah r. Beliau mengatakan:
 "إن اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم."
          Kaum Yahudi dan Nasrani tidak menyemir rambut maka selisihilah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)[2]
            Di atas disebutkan bahwa memakai warna hitam ketika menyemir rambut dilarang, mengapa? Oleh sebab itu akan dikaji dalam makalah ini tentang hukum larangan menyemir rambut dengan warna hitam, apakah ada faktor yang menyebabkan warna hitam dilarang? Apakah larangan itu mutlak di setiap keadaan? Kemudian adakah dalil yang menyebutkan larangannya? Mari kita kaji!
Hukum Menyemir Rambut
Menurut Syeikh Shalih Fauzan, mengenai hukum menyemir rambut adalah: jika rambut beruban maka disunnahkan untuk menyemirnya dengan warna selain hitam, dengan menggunakan inai, daun katam, warna kuning. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihis Salam,
"إن أحسن ما غيرتم به الشيب: الحناء و الكتم."
          Benda yang paling baik digunakan untuk mengubah warna uban ini adalah hinna’ (daun pacar) dan katm (jenis tetumbuhan).” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i)[3]
 Karena menyemir rambut dengan warna hitam sendiri tidak diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah r,
" غيروا هذا و اجتنبوا السواد "
Rubahlah uban dan hindari dengan warna hitam.” (HR. Ahmad)[4]
Lalu bagaimana jika menyemirnya dengan mencampur antara warna hitam dan inai? Tidak mengapa, karena yang diharamkan adalah warna hitam asli. Hal ini berlaku bagi laki-laki dan wanita. Namun jika selain uban maka dibiarkan, kecuali jika warna rambutnya jelek dan sulit diatur, maka boleh menyemirnya untuk menghilangkan warna jeleknya dengan warna yang sesuai. Keadaan lain, jika warna rambut asli juga tidak jelek, maka dibiarkan tetap asli dan tidak merubahnya, karena tidak menjadi alasan untuk mengubahnya. Kasus lain yang sekarang sudah biasa di kalangan masyarakat, yaitu menyemir rambut menyerupai gaya orang kafir dan kebiasaan asing, maka tidak diragukan bahwa hal itu diharamkan meskipun menyemirnya dengan satu gaya atau bermacam-macam gaya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi,wasallam
"من تشبَّهَ بقوم فهو منهم."
          Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari mereka.”(HR. Abu Dawud)[5]
Ada Apa dengan warna Hitam? Kenapa dilarang Menggunakannya?
Telah kita ketahui bersama bahwa menyemir rambut dengan warna hitam asli dilarang, mengapa? Para ulama’ telah sepakat bahwa hal itu mengandung unsur penipuan. Misalnya ada orang tua yang menyemir rambutnya dengan warna hitam supaya dianggap masih muda dan untuk menyembunyikan keasliannya, terutama pada waktu melamar. Demikian hal ini haram karena pemalsuan adalah haram. Bisa dikatakan juga, hal ini termasuk dari merubah ciptaan Allah Ta’ala.
Namun apakah pengharaman ini juga berlaku bagi seorang istri yang ingin berhias di depan suaminya? Tidak, seorang istri boleh menggunakan warna hitam baik untuk merubah warna asli rambutnya atau untuk menutupi ubannya, dengan catatan semiran hitam tersebut cocok dengan dirinya dan sesuai dengan  keaslian rambutnya. Yang demikian itu menjadi perhiasan untuknya dan membuatnya indah ketika dipandang, karena bersolek itu sangat dianjurkan bagi seorang istri untuk suaminya. Dalam hal ini tidak ada unsur penipuan terhadap suami, karena sebenarnya suami telah mengetahui umur istrinya dan tahu apa yang dilakukan istrinya untuk berhias di depannya. Tujuan seperti ini tidak dicela oleh syari’at dan merupakan rukhshoh bagi seorang istri. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “al-Mughni” karya Ibnu Qudamah al-Hanbali,”termasuk keringanan dalam hal menyemir dengan warna hitam bagi seorang istri dengan niat berhias untuk suaminya.”
Namun bagi wanita yang belum menikah, mereka tidak boleh menyemir rambutnya dengan warna hitam maupun yang lainnya, supaya mereka terhindar dari syubhat penipuan terhadap laki-laki yang akan mengkhitbahnya, apalagi jika ia memiliki uban yang ia samarkan dengan semir tersebut, karena jika ia biarkan rambutnya masih dalam keadaan beruban maka si pelamar batal mengkhitbahnya. Hal ini bermakna ada penipuan atau jika ia merubah warna rambutnya dan ia menikah, kemudian suami mengetahui warna rambutnya yang asli, kemungkinan ini bisa menyebabkan suami mencerainya karena ia merasa telah ditipu.
Semir Modern
          Bagaimana dengan sekarang?  Zaman serba instan, banyak ditemukan produk semir modern yang mudah untuk digunakan dan mempunyai koleksi warna yang lebih banyak dan menarik, yang kita tidak mengetahui berasal dari apakah semir modern itu dibuat, dan pastinya di zaman yang serba instan ini tidak lepas dari bahan-bahan kimia. Dalam hal ini hukum asalnya adalah boleh, sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih,
"ان الأصل في الأشياء الاباحة."
          Sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan.”[6]
Namun kebolehan di atas terikat syarat, menurut Dr. Ali bin Sa’id al-Ghamidi syarat-syarat itu adalah[7]:
1.      Tidak menyerupai kaum kafir, sebagaimana yang Rasulullah r sabdakan,
 "من تشبَّهَ بقوم فهو منهم."
          “ Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka.”(HR. Abu Dawud)[8]
2.      Tidak ada unsur penipuan, dan ini telah dijelaskan sebelumnya.
3.      Tidak menimbulkan lapisan baru pada kulit kepala ataupun rambut yang dapat menghalangi mengalirnya air ketika wudhu maupun mandi.
4.      Tidak menyebabkan dampak negatif bagi rambut. Biasanya semir rambut yang terbuat dari bahan kimia mempunyai efek samping, misalnya dapat menyebabkan berubahnya warna rambut, merontokkannya atau berpengaruh buruk pada kulit.
Oleh sebab itu, sebaiknya para wanita menjauhi berbagai merek semir modern, cukuplah menggunakan apa yang telah disunnahkan ( hinna’ dan katm). Jadi kesimpulan dari penjelasan di atas adalah menyemir rambut dengan warna hitam itu dilarang karena mengandung unsur penipuan, namun jika digunakan oleh seorang istri yang tujuannya ingin berhias di depan suami maka diperbolehkan.
Daftar Pustaka
Ahmad, Abu ‘Abdullah bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal,  jilid: 12, (Muassatur Risalah, 1421 H/ 2001 M)
Asrof, Abi Muhammad bin Abdul Maqsud, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, (Riyadh:      Adhwaus Salaf, 1429 H)
Kamal, Abu Malik bin Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah lin Nisa’, (Kairo-Mesir: al-Maktabah at-Taufiqiyah, 2008)
Khallaf, Abdul Wahab, IlmuUshul Fiqih, (Semarang: DINA UTAMA, 1994 M)
Muhammad bin Futuh al-Hamidi, Jam’u baina Shohihain al-Bukhari wal Muslim, jilid: 3, (Beirut: Darun Nasr, 1423 H/ 2002 M)
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, (Kairo: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M)
Sulaiman., Abu Dawud bin Asy’ats as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi)
Zaidan, Abdul Karim, Al-Mufasshol fi Ahkamil Mar’ah, jilid: 3, (Beirut: Muassatur Risalah, 1420 H/ 2000 M)


[1] Fiqhus Sunnah lin Nisa’, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, hal. 419.
[2] Al-Jam’u baina Shohihain al-Bukhari wal Muslim, Muhammad bin Futuh al-Hamidi, 3/60.
[3] Fiqhus Sunnah lin Nisa’, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, hal. 419.
[4] Musnad Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, 12/219.
[5] Sunan Abi Dawud, Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats as-Sijistani, 4/78.
[6] Ilmu Ushul Fiqih, Prof. Abdul Wahhab Khallaf, hal. 127.
[7] Fikih Wanita, Dr. Ali bin Sa’id al-Ghamidi,  hal. 413.
[8] Sunan Abi Dawud, Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats as-Sijistani, 4/78.

Warisan bagi Anak Hasil Zina



Ilmu Faraidh atau ilmu yang mempelajari tentang pembagian harta adalah ilmu yang mulia, bahkan Allah Ta’ala senirilah yang menentukan bagian-bagiannya. Allah Ta’ala yang secara langsung (tidak melalui nabi & rasul) menjelaskan ilmu faraidh secara rinci kepada umat manusia (dalam al-Qur’an). Ilmu faraidh adalah ilmu yang pertama kali dicabut dari umat nabi Muhammad r sebelum hari kiamat. Sebagaimana yang disabdakan Nabi r, "Pelajarilah ilmu faraid, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku." (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)
Berbicara tentang waris dalam hukum Islam, terlebih dahulu kita harus mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris dari kerabatnya yang lain. Sebab-sebab orang yang berhak mendapatkan warisan, diantaranya adalah:
1.      Nasab (keturunan) yakni kerabat.
2.      Pernikahan
3.      Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak perempuan.
Jadi jika ada pernikahan yang sah antara calon suami dan istri, ketika suami wafat, istri mendapatkan hak waris. Begitupun sebaliknya, ketika istri wafat, suami mendapatkan hak waris. Sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 12 yang artinya,
“Dan bagimu (suami-suami)  seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya, sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutang-hutangnya. Para istri memperolah seperempat harta yang kamu tinggalakan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiatyang kamu buat atau (dan) sudah dubayar hutang-hutangmu.”
Dan hal-hal yang menghalangi seseorang untuk menerima harta warisan adalah:
1.      Kekafiran
لا يرث الكافر المسلم ولا المسلم الكافر
“Orang kafir tidak dapat mewarisi orang muslim, dan orang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir.” (HR. Ahmad)
2.      Pembunuhan
ليس للقاتل من تركة المقتول شيء
“Seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan harta warisan sedikitpun dari orang yang dibunuhnya.” (HR. Ibnu Abdul Barr)
3.      Perbudakan
4.      Perbuatan zina
5.      Li’an
6.      Bayi yang meninggal saat lahir
Berdasarkan ketentuan di atas, hubungan nasab (darah) merupakan syarat yang benar-benar harus terpenuhi jikaahli waris adalah anak (keturunan) dari pewaris. Dan anak tersebut harus dari hasil pernikahan kedua orang tuanya yang sah sesuai syari’at Islam. Namun jika tidak ada ikatan pernikahan antara keduanya, maka otomatis si anak putus hubungan dengan bapaknya karena si bapak juga tidak ada ikatan dengan ibunya. Jadi si anak tersebut hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Dan hubungan nasab dengan bapaknya terputus.
Jadi, jika ibunya wafat, anak tersebut mendapatkan hak waris dari ibunya. Begitu pula sebaliknya, jika anak tersebut wafat, ibu mendapat hak waris dari anaknya. Sedangkan jika ayahnya wafat, anak tersebut tidak mendapatkan hak waris dari ayahnya. Begitu juga sebaliknya, jika anak tersebut wafat, ayah tidak mendapatkan hak waris dari anaknya.
Sebagai contoh, jika ad perempuan yang ingin menikah dengan laki-laki yang membawa anak bawaan dari hasil zina atau hasil pernikahan yang tidak sah, maka anak itu tidak mendapatkan hak waris dari ayahnya. Tapi mereka bisa mendapatkan hak selain dari hak waris, seperti hadiah atau wasiat.
Demikian pembahasan warisan bagi anak hasil zina. Makalah ini dibuat untuk memahamkan saudara sekalian dan sebagai syarat memenuhi tugas mata kuliah semester 3. Semoga bermanfaat…
Wallahu a’lam bish showab..

Diambil dari kitab Minhajul Muslim karya Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri