Pages

Subscribe

Tuesday, 27 October 2015

Tafsir surat al-Baqarah: 143




 وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“dan demikian juga Kami telah menjadikan kamu (Ummat Islam) umat yang adil dan juga pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.”
Melalui ayat itu Allah menuturkan: “Sesungguhnya Kami mengubah kiblat kalian ke Ibrahim dan Kami pilih kiblat itu untuk kalian agar Kami dapa menjadikan kalian sebagai umat pilihan, agar pada hari kiamat kelak kalian menjadi saksi atas umat-umat yang lain, karena semua umat mengakui keutamaan kalian.”
Yang dimaksud dengan kata “Wasath” disini adalah pilihan yang terbaik. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa orang Quraisy adalah orang Arab pilihan, baik dalam nasab maupun tempat tinggal. Artinya yang terbaik. Dan sebagaimana dikatakan: “Rasulullah wasathan fi qaumihi,” yang berate beliau adalah orang yang terbaik  dan termulia nasabnya.
Misalnya lagi, kalimat Shalat Wustha, yang merupakan shalat terbaik, yaitu shalat Ashar.
Ketika Allah menjadikan ummat ini sebagai Ummatan Wasathan, maka Dia memberikan kekhususan kepadanya dengan syari’at yang paling sempurna, jalan yang paling lurus dan paham yang paling jelas.
QS. Al-Hajj: 78
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasululllah bersabda,” Pada hari kiamat kelak, Nuh diseru dan kemudian ditanya: ‘Apakah engkau telah menyampaikan risalah? ‘Sudah’ jawab Nuh. Kemudian kaumnya diseur dan ditanya:’ apakah Nuh telah menyampaikan risalah kepada kalian? Mereka pun menjawab: ‘Tidak ada pemberi peringatan dan tidak seorangpun yang datang kepada kami. ‘Setelah itu  Nuh diseur lagi : ‘Siapakah yang dapat memberikan kesaksian untukmu? Jawab Nuh: ‘Muhammad dan Ummatnya.’ Lebih lanjut Rasulullah bersabda: ‘Demikianlah firman Allah: “Dan demikian juga Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan. Beliau bersabda: ‘Al-wasath’ berarti adil. Lalu kalian diseru dan diminta

AIR MUSTA’MAL



بسم الله الرحمن الرحيم
                                                                                                                                   
v   الوجيز فى الفقه الاسلام )الدكتور وهبة الزهيلى ص20  (
Pengertian                                                                                                     
Yaitu air bekas yang didapatkan dari air yang dipakai setelah wudhu, mandi janabah dan menghilangkan najis. Air musta’mal berbeda dengan air bekas air mencuci tangan, membasuh muka atau keperluan lainnya, karena air tersebut statusnya masih mutlak yang bersifat suci dan mensucikan. air itu tidak disebut sebagai air musta’mal karena bukan digunakan wudhu atau mandi janabah.
Hukum
1.      Malikiyah: suci mensucikan secara mutlak
2.      Hanafiyah: suci mensucikan untuk menghilangkan najis saja, dan tidak untuk mengangkat hadats
3.      Syafi’iyah dan Hanabilah: suci tidak mensucikan, tidak bisa untuk menghilangkan najis dan mengangkat hadats
Kesimpulan
Yang rojih adalah pendapat yang pertama yaitu pendapat Malikiyah karena kesucian air tidak hilang hanya dengan disentuh manusia dan bertemunya sesuatu yang suci dengan yang suci.  bbDalilnya:  
عن ابن عباس رضى الله  عنهما ان انبي صلى الله عليه وسلم كان يعتسل بفضل ميونة رضى الله عنها )اخرجه مسلم(
“Dari ibnu Abbas R.A Bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mandi dengan air bekas maimunah ra. (HR.Muslim)

v   فقه السنه للنساء
Air musta’mal yaitu air yang jatuh dari anggota wudhu atau selainya, dan ia tetap suci lagi mensucikan, selama bau, warna, dan rasanya tidak berubah karena bercampur dengan najis. Para sahabat pun duhulu berlomba-lomba untuk mendapat air bekas wudhu Nabi SAW (yang jatuh).

v   المغني (ابن قدمة) ج :۱, ص : ٤٣-٤٤
Air musta’mal adalah air yang menetes dari anggota-anggota tubuh orang yang berwudhu dan juga orang yang mandi. Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats dianggap sebagai air yang suci tetapi tidak mensucikan.  Ia tidak dapat menghilangkan hadats dan juga najis. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Laits dan Auza’I, serta merupakan pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah.
Pendapat lain dari Imam Ahmad, yaitu bahwa air seperti itu merupakan air yang suci dan mensucikan. Pendapat ini dikemukakan oleh Hasan, Atha’, An Nakha’i, Az Zuhri,  Makhul, orang-orang yang berpegang pada makna zhahir.
Diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar dan Abu Umamah bahwa barang siapa yang lupa untuk mengusap kepalanya , kemudian dia menemukan sisa-sisa air dijenggotnya, maka ia dibolehkan untuk mengusap kepalanya dengan sisa-sisa air tersebut. Dalilnya adalah bahwa Nabi SAW pernah bersabda,
الماء لا ينجب
“Air itu tidak ikut junub.” (HR. Abu Daud)
Hadits diatas telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad, serta oleh Ibnu Majah dan yang lainnya. Selain itu, juga disebabkan karena yang dibasuh adalah sebuah tempat yang suci, maka status suci yang melekat pada air itu pun tidak hilang karenanya. Hal itu sama halnya ketika air itu digunakan untuk mencuci pakaian. Sebaba air itu hanya mengenai sebuah tempat yang suci , maka ia pun tidak keluar dari hukum aslinya setelah ia melaakukan tugasnya. Hal itu tidaklah berbeda dengan pakaian yang digunakan untuk sholat berkali-kali.
Sementara Abu Yusuf berkata, air itu najis. Ini merupakan satu riwayat dari Abu hanifah. Sebab Nabi SAW pernah bersabda,
“Janganlah salah seorang diantara kalian kencing di air yang tidak mengalir dan janganlah dia mandi junub dengannya.” (HR. Abu Daud)

v   تمام المنة (ابو عبد الرحمن عادل بن يوسف العزازي) ج : ۱ , ص : ۱٦-۱۷
Air Musta’mal adalah air yang terpisah dari anggota tubuh orang yang berwudhu dan mandi. Hukumnya hukum asli yaitu suci mensucikan.
1.      Dari Rubayyi’ binti Mu’awwid ra berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada ditangannya,”
2.      Umumnya Firman Allah Ta’ala, “Jika kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah” (QS. Al Maidah: 6). Yang dimaksud “air” dalam ayat ini yaitu jika tidak ada dalil yang menunjukkan keluar dari kesuciannya maka hukumnya tetap pada hukum asli yaitu suci lagi mensucikan.
3.      Jelas keasliannya karena sesungguhnya air itu suci bercampur dengan anggota tubuh yang suci, maka tidak menghilangkan kesuciannya.

Wallahu A’lam Bish Showab…

HUKUM MEMAKAI CELAK DAN INAI BAGI WANITA



                                                بسم الله الرحمن الرحيم                 
MEMAKAI CELAK
            Wanita dianjurkan memakai celak mata dengan tujuan mempercantik diri di hadapan suami dan untuk pengobatan bila menderita penyakit mata. Nabi bersabda,”Pakailah pakaian putih, karena ia adalah pakaian paling baik bagi kaliandan gunakanlah kain putih sebagai kafan bagi orang-orang yang meninggal diantara kalian. Dan sesungguhnya celak yang paling baik bagi kalian adalah itsmid, karena ia dapat menjernihkan pandangan dan menyburkan bulu.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)
            Namun wanita tidak boleh memakai celak selama menjalani masa berkabung.
(diambil dari kitab: Fiqih sunnah linnisa’, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, hal. 418 dan terjemahan, hal 576. Dan kitab Fiqih Mar’ah Muslimah, Syeikh al-Utsaimin, hal. 19.)
Celak mata tidak membatalkan puasa bagi laki-laki atau wanita menurut pendapat yang paling benar, akan tetapi memakainya pada malam hari lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa.
 (diambil dari Fatwa-fatwa wanita, jilid 1, Syaikh bin Baaz)
Bercelak itu sunnah baik bagi laki-laki maupun wanita. Dan dibolehkan bagi wanita untuk bercelak dimanapun ia berada. Namun wanita muslimah tidak boleh menampakkan matanya yang bercelak kepada lelaki ajnabi (yang bukan mahram). Karena celak itu termasuk perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan seorang wanita kecuali kepada sesama wanita atau kepada mahramnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ولَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (QS. An Nuur: 31).
(diambil dari Fatwa Syaikh Khalid bin Ali Al Musyaiqih)
Seorang wanita ketika di hadapan suaminya atau mahramnya atau di rumahnya diperbolehkan untuk bercelak kapanpun juga ia menginginkannya,namun yang terbaik adalah ketika menjelang tidur.
Jabir bin Abdillah berkata, Rasulullah bersabda:
عليكم بالإثمد عند النوم ، فإنه يجلو البصر ، ويُنبت الشّعر
“Pakailah celak itsmid ketika akan tidur,sebab ia menerangkan pandangan dan menumbuhkan bulu mata”. (HR.Ibnu Majah,ath Thabraniy dan dishahihkan syaikh Muhammad Nashiruddin al AlBaniy dalam shahihul jami)
Berkata Ibnu Qayim:
“Celak dapat menjaga kesehatan mata,memperkuat cahaya mata,membersihkan unsur-unsur yang jelek dan mengeluarkannya dan di antara jenis dan macam-macamnya berfungsi sebagai hiasan dan ketika tidur memiliki kelebihan keutamaan karena mencakup atas celak dan gerakan yang tidak membahayakan”.
Adapun tentang hukum memakainya ketika di dalam rumah, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin mengatakan:
Bercelak ada dua macam:
1.      Untuk memperkuat mata,menjernihkan selaput mata dan  membersihkan dengan tanpa ada maksud berhias.Maka ini tidaklah mengapa bahkan sebaiknya dilakukan,terlebih lagi jika menggunakan celak itsmid karena Nabi bercelak di kedua belah mata Beliau.
2.      Untuk hiasan dan mempercantik diri, maka bagi kaum wanita dianjurkan karena kaum wanita dianjurkan untuk berhias untuk suaminya.Adapun bagi kaum lelaki maka perlu adanya pertimbangan dan saya belum dapat memberikan hukum secara pasti.Bisa jadi dibedakan antara pemuda yang apabila bercelak maka ditakutkan akan menyebabkan fitnah sehingga diharamkan dan antara orang tua yang tidaklah ditakutkan timbulnya fitnah karenanya sehingga tidak diharamkan”.

Adapun hukum memakainya ketika keluar rumah:    
Seorang wanita ketika keluar dari rumahnya diwajibkan untuk menutupi perhiasannya dari lelaki asing (bukan mahramnya) berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nur: 31, seperti yang telah disebutkan diatas.
Memakai celak ketika masa berkabung
Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, maka ia wajib menjalani masa ihdaad (berkabung), di mana ketika itu ia tidak boleh berhias diri (termasuk memakai celak) dan tidak boleh memakai harum-haruman Mengenai masa ihdaad disebutkan dalam hadits,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung (menjalani masa ihdaad) atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491).
(diambil dari Muhtashar Zaadul Ma’ad: 4/322 dan Majmu’ Fatawa syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin: 11/73)

MEMAKAI INAI
                Hukumnya boleh berdasarkan dalil dibawah ini:
Mu’adzah menyatakan bahwa seorang wanita bertanya kepada Aisyah ra, “Apakah wanita haid boleh memakai pewarna?” Aisyah menjawab, “Kami biasa memakai pewarna dengan sepengetahuan Nabi SAW, tapi beliau tidak pernah melarang kita melakukannya.”
Wanita juga boleh memakai inai ketika sedang dalam keadaan suci, tapi ia harus menghilangkannya saat hendak wudhu. Ibnu Abbas ra berkata, “Istri-istri kami biasa memakai inai di malam hari. Saat pagi tiba, mereka melepaskannya lalu berwudhu dan shalat, kemudian memakai lagi setelah ashar. Sebelum dhuhur melepaskannya lagi lalu wudhu dan sholat. Mereka memakai inai dengan cara yang sangat baik dan tidak menghalangi shalat.
(diambil dari Fiqih sunnah untuk wanita, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, hal : 578)

Banyak pertanyaan yang datang dari para wanita tentang memakai inai ini pada rambut, dua tangan atau dua kaki ketika sedang haidh. Jawabannya adalah hal ini tidak apa-apa karena inai sebagaimana diketahui bila diletakkan pada bagian tubuh yang ingin dihias akan meninggalkan bekas warna dan warna ini tidaklah menghalangi tersampaikannya air ke kulit, tidak seperti anggapan keliru sebagian orang. Apabila si wanita yang memakai inai tersebut membasuhnya pada kali pertama saja akan hilang apa yang menempel dari inai tersebut dan yang tertinggal hanya warnanya saja, maka ini tidak apa-apa.”
Namun yang harus diperhatikan adalah:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak apa-apa berhias dengan memakai inai, terlebih lagi bila si wanita telah bersuami dimana ia berhias untuk suaminya. Adapun wanita yang masih gadis, maka hal ini mubah (dibolehkan) baginya, namun jangan menampakkannya kepada lelaki yang bukan mahramnya karena hal itu termasuk perhiasan.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 4/288). Dan jika menampakkannya pada selain mahram maka termasuk tabarruj.
(diambil dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 4/288).
                                                        

Diperbolehkan bagi wanita muslimah memakai inai. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, dia menceritakan “ada seorang wanita yang menyodorkan sebuah kitab dengan tangannya kepada Rasulullah, lalu beliau menarik tangan beliau, lalu wanita itu mengatakan,’Wahai Rasulullah, aku menyodorkan tanganku kepadamu dengan sebuah kitab tetapi engkau tidak mengambilnya
Beliaupun berkata, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apakah itu tangan orang perempuan atau orang laki-laki. ‘ia adalah tangan wanita,’papar wanita itu. Maka beliau berkata,’seandainya aku seorang wanita, niscaya aku akan merubah kukumu dengan daun pacar.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
(diambil dari Fiqih Wanita, Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, Januari 2009, hal: 689)
                                                                             
Bagaimana jika inai digunakan untuk rambut?
Mengunakan inai sebagai bahan tambahan untuk menyemir rambut dengan warna hitam yang dicampur daun pacar (inai). Apakah diperbolehkan? Menyemir rambut dengan warna hitam murni adalah haram. Namun, bila dicampur dengan warna lain sehingga berubah menjadi warna kelam, maka hal tersebut tidak mengapa. 
Rasulullah SAW bersabda:                                                                                                       
غيّروا هذا الشّيب  واجتنبوا السّواد                                           
“Ubahlah warna uban ini, dan jauhilah warna hitam.”
(dianbil dari Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Tata Rias Rambut Cara Islam, hal: 121