A.
Pendahuluan
Perkembangan zaman yang semakin
pesat dalam bidang dan segi apapun, ilmu-ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang
bervariasi seiring perkembangan peradaban dan kebudayaan. Semua itu mempengaruhi
ilmu di bidang kedokteran turut berkembang semakin canggih dan modern.
Dalam bidang kedokteran dewasa ini
ada sebuah ilmu yang membahas tentang penjagaan sistem imunitas dalam tubuh
terhadap suatu penyakit yang mungkin datang belakangan. Sebenarnya hal seperti
ini sudah ada di zaman baginda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun
untuk cara dan bahan yang digunakan sudah tak seperti dulu lagi. Inilah yang sekarang disebut dengan imunisasi.
Pesatnya ilmu pengetahuan dalam
bidang ini banyak melahirkan penemuan-penemuan baru. Praktek imunisasi sekarang
ada yang menggunakan bahan haram kemudian mengalami perubahan yang kemudian
eksistensinya menimbulkan pro-kontra sana sini yang membicarakannya.
Suka tidak suka memang harus kita
akui bahwa di tengah dunia Islam berkembang dua pendapat yang saling berbeda
tentang hukum imunisasi ini. Sebagian mengharamkan dan sebagian yang lain
menghalalkan. Tentunya masing-masing datang dengan segenap argumen dan
alasannya yang bisa dijadikan pegangan. Bagaimanakah sebenarnya polemik antara
kedua pendapat tersebut? Di makalah inilah penulis ingin berbagi pengetahuan
tentang imunisasi.
B.
Definisi
Sebenarnya persoalan yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini
berasal dari kata imun (kebal). Maknanya berubah ketika mendapat imbuhan ‘isasi’.
Imbuhan ’isasi’ menunjukkan makna proses.
Imunisasi berarti pengimunan, pengebalan (terhadap penyakit) yaitu
pemerintah memberikan suntikan TCD kepada anak-anak dalam rangka pengebalan
terhadap penyakit tipus, kolera dan disentri.[1]
C.
Berobat sebelum Tertimpa Penyakit (pencegahan)
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
tepatnya di belahan bumi timur, tindakan pencegahan terhadap penyakit seperti
ini sudah ada. Sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
مَنْ
تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ مِنْ
عَجْوَةٍ, لَمْ
يَضُرُّهُ ذَلِكَ اليَوْمَ سَمٌّ وَلَا سِحْرٌ
“Barangsiapa makan tujuh butir kurma ‘ajwah
pada pagi hari, maka ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[2]
Juga ada sebuah perkataan yang mungkin sudah
familiar di antara kita yaitu,
الوِقَايَةُ خَيْرٌ مِنَ العِلَاجِ
“Pencegahan itu lebih baik daripada mengobati”[3]
Pada hakekatnya kekebalan
tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh secara
alami maupun buatan. Kekebalan pasif secara alami adalah kekebalan yang
didapatkan transplasental[4]. Sedangkan kekebalan pasif buatan adalah pemberian antibodi
yang sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak.[5]
Secara alami kekebalan
aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang berarti masuknya
antigen yang akan merangsang tubuh anak membentuk antibodi sendiri secara aktif
dan menjadi kebal karenanya.[6]
D.
Jenis Imunisasi
Imunisasi itu banyak macamnya, di antaranya Imunisasi BCG,
Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi
TT, Imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varisella, Imunisasi
HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku
kedokteran. Intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu
dihindari.[7]
Jika imunisasi menggunakan bahan yang halal tentu tidak menjadi
masalah. Di pihak lain, sebagian imunisasi seperti imunisasi jenis vaksin polio
khusus (IPV) dan vaksin meningitis yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan
visa haji dan umrah yang diwajibkan oleh Saudi Arabia, diduga berasal dari
enzim atau gelatin babi.[8] Babi jelas najis dan termasuk hewan yang haram dikonsumsi.
Sedangkan, berdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor:
1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular an Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada rapat
Komisi Fatwa, Selasa, 8 Oktober 2002, dapat disimpulkan sebagai berikut:[9]
1. Pemerintah berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dengan cara
pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).
2. Virus polio jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik
bagi yang menderitanya.
3. Ada sejumlah anak balita yang menderita immunocopromise (kelainan
system kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus.
4. Jika mereka tidak diimunisasi, akan menderita penyakit polio serta
sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyakit virus.
5. Vaksin khusus tersebut (IPV) proses pembuatannya menggunakan enzim
yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi
unsur babi.
6. Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikannya,
jika diproduksi sendiri diperlukan investasi yang sangat besar sementara
kebutuhan sangat terbatas.
Lalu bagaimana hukum fikih jika imunisasi seperti ini menggunakan
barang yang haram dan najis?
E.
Kaidah Syar’i dalam Masalah Imunisasi
a.
Hukum Berobat dengan Barang Haram/ Najis
Dalam masalah ini terbagi menjadi
dua bagian:
Pertama, boleh dalam kondisi dharurat. Ini pendapat Syafi’iyah, Hanafiyah
dan Ibnu Hazm.[10] Pada dasarnya tidak boleh memilih rukhshah (keringanan)
atau hukum-hukum istitsnaiyah (terkecuali) kecuali dalam keadaan khusus
itupun tidak terus-menerus dan tidak dibebaskan, karena keringanan adalah
hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala yang dibangun atas udzur
(alasan) para hamba-Nya. Hukum itu dibangun untuk menjaga kebutuhan mereka,
misalnya keringanan bagi orang yang bepergian, sakit atau orang terpaksa makan
atau minum barang yang diharamkan secara syar’i ketika dalam keadaan dharurat
untuk menyelamatkan kehidupan dari kematian karena lapar atau haus dan tidak
ada sesuatu yang halal untuk menggantikannya.[11]
Dari kaidah-kaidah ketika dalam
keadaan terpaksa antara lain:[12]
1.
Jumhur
berpendapat, membatasi diri dalam menggunakannya ketika dalam keadaan terpaksa
dengan batasan yang paling rendah atau kadar yang semestinya untuk mencegah
bahaya. Sebagaimana kaidah fikih,
مَا اُبِيْحَ
لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Sesuatu yang dibolehkan ketika dalam keadaan
dharurat itu diukur sesuai dengan kadarnya.”[13]
2.
Seorang
dokter muslim yang adil dan dipercaya dalam agama dan ilmunya hendak mensifati
keharaman dengan syarat tidak mendapatkan obat ganti lain yang diperbolehkan
secara syar’i dan juga dapat menggantikan posisinya, mewujudkan kesembuhan yang
diharapkan. Boleh juga berobat dengan barang najis jika tidak mendapatkan
barang halal yang bisa menggantikannya. Jika mendapatkan yang halal, maka yang
najis haram tanpa adanya perselisihan.[14]
3.
Dihalalkan
bagi orang yang terpaksa atau membutuhkan untuk makan sesuatu yang haram baik
makanan ataupun obat karena untuk mencegah bahaya, menjaga kesehatan,
melindungi dari kebinasaan, karena dharurat membolehkan untuk memakan sesuatu
dari yang haram. Dengan dalil keumuman ayat,
وَقَدْ
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya.“ (QS. Al-An’am [6]: 119)
إِنَّ اللهَ خَلَقَ
الدَاءَ وَالدَوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menciptakan
penyakit dan obat, berobatlah dan jangan berobat dengan benda yang haram.” (HR. ath-Thabrani)[16]
Pendapat yang rajih adalah pendapat
pertama. Tidak boleh berobat dengan bahan haram kecuali dalam keadaan dharurat
dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:[17]
1.
Termasuk
penyakit yang harus diobati.
2.
Yakin
benar bahwa obat tersebut sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3.
Tidak
ada pengganti lainnya yang mubah.
b.
Bahan Haram yang Melalui Proses Istihalah
Dalam ilmu kedokteran, bahan haram pun bisa dijadikan untuk
imunisasi seperti enzim babi. Untuk bisa dijadikan bahan imunisasi otomatis
bahan haram itu mengalami proses perubahan, sehingga bisa menjadi bentuk cairan
(suntik) atau pun bentuk yang lain. Perubahan ini dalam ilmu fikih dinamakan istihalah.
Kalimat istihalah dalam bahasa Arab mempunyai dua makna:[18]
1.
Mustahil
atau tidak mungkin.
2.
Berubahnya
sesuatu dari bentuk dan sifatnya atau berubahnya dzat, sifat dan nama. Inilah
makna yang berkaitan dengan pembahasan ini. Sudah jelas dalam menerangkan
berubahnya hakikat sesuatu dan bentuknya yang bermacam-macam kepada sesuatu
yang lain atau macam yang lain.
Yang dimaksud istihalah dalam istilah fikih adalah berpindahnya
sesuatu atau berubahnya dari segi sifat.[19] Seperti khamr berubah menjadi cuka, babi menjadi garam, minyak
menjadi sabun atau yang lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah,
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ
فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit bangkai yang disamak, maka suci.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)[20]
Bahwa makanan atau obat yang baru, bahan awalnya terdapat unsur
najis atau membahayakan, kemudian mencair dan bercampur dengan bahan lainnya
hingga menjadi sesuatu yang lain, maka halal mengambil manfaat darinya, karena
benda itu dan juga sarinya telah berubah dan menjadi sesuatu yang lain.[21]
c.
Bahan Haram yang Bercampur (Istihlak)
Salah satu pengertian istihlak
adalah apabila sesuatu yang najis itu dikalahkan dengan air, maka menjadi suci.
Ini pendapat al-Hanafiyah dan al-Malikiyah dengan dalil,
الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ
يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
إِذَا بَلَغَ
المَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah,
maka tidak mungkin dipengaruhi oleh kotoran (najis).” (HR. ad-Daruquthni)[23]
Dengan dua hadits di atas
menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram bila bercampur dengan air suci
yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya
maka dia menjadi suci.
d.
Dalam Keadaan Dharurat
Sebagimana yang telah dijelaskan di atas, dalam keadaan dharurat
ataupun terdesak yang mengharuskan untuk menerjang keharaman dan itu hukumnya
boleh jika seseorang itu berkeyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang
larangan tersebut niscaya akan mendapat bahaya yang lebih besar. Sebagaimana
dalam kaidah fikih dikatakan,
الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ
المَحْظُوْرَاتِ
“Dharurat itu membolehkan suatu yang terlarang.”[24]
e.
Ada Kemudahan dalam Kesempitan
Sesungguhnya syari’at Islam itu dibangun di atas kemudahan. Banyak
sekali dalil yang mendasari hal ini. Hingga jika ada kesulitan, maka akan ada
tambahan kemudahan lagi.
الأَشْيَاءُ إِذَا اتَّسَعَتْ
ضَاقَتْ
“Segala sesuatu apabila sempit, maka menjadi luas.”[25]
F.
Kesimpulan
Dari keterangan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa imunisasi
itu dilakukan tergantung penyakit apa yang mau dihindari. Untuk imunisasi IPV
maupun lainnya yang mengandung bahan haram, kami memandangnya boleh dilakukan
karena melihat sisi maqashid syari’ah (yaitu menjaga jiwa) dan di antaranya
dengan syarat sebagai berikut:
1.
Imunisasi
ini diperlukan sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2.
Termasuk
penyakit yang harus diobati.
3.
Bahan
haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lain dan nama maupun sifatnya
telah berubah.
4.
Tidak
ditemukan obat pengganti lainnya yang mubah.
5.
Dilakukan
dalam kondisi dharurat.
6.
Menggunakannya
sesuai kadar yang dibutuhkan.
7.
Efek
samping yang ditimbulkan dari imunisasi tidak lebih besar dari penyakit yang
akan timbul jika tidak melakukan imunisasi.
Dengan ini kami berharap semoga ilmu
kedokteran semakin maju dan menemukan obat yang bisa menggantikan imunisasi
dengan bahan haram ini. Sehingga obat-obatan kita bersih dari unsur keharaman
dan juga najis.
Demikian makalah yang dapat kami
paparkan dan kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,
baik dari segi bahasa, diksi maupun kekurangan materi, maka kritik dan saran
sangatlah kami butuhkan untuk menjadi bahan koreksi supaya makalah ke depan
yang kami sajikan menjadi lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim dan terjemahannya, Bandung: PT Syamil Cipta Media.
Baghdadi,al-,
Ali bin Umar Abu al-Hasan ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, juz: 1,
Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1386 H- 1966 H
Baihaqi,al-, Abu
Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali, as-Sunan al-Kubra, juz: 1, cet-1,
India: Majlis Dairah al-Ma’arif an-Nidhamiyah, 1344 H
Hakim, Abdul
Hamid, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyah,
Jakarta: Sa’adiyah Putra
Hamid, bin,
Shalih bin Abdullah, Nadzratun Na’im fi Makarimi Akhlaqi Rasul, juz: 7,
cet-4, Jeddah: Dar al-Wasilah li An-Nasyri wa at-Tauzi’
Hamidi, al-, Muhammad bin, Al-Jam’u baina Shahihaini Al-Bukhari
wa Muslim, juz: 1, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M
Suyitno, Hariyono dkk, Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi
4, cet-1, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
juz: 7, t.t.p, t.p
Kamus Besar
Bahasa Indonesia, eds-3, cet-2, Jakarta: Balai Pustaka
Nawawi,an-, Abu
Zakariya Muhyid Din bin Syaraf, Kitab al-Majmu’ syarh al-Muhadzab li
asy-Syirazi, cet-1, juz: 9, Jeddah: Maktabah al-Irsyad
Sidawi,as-, Abu
Ubaidah Yusuf bin Mukhtar, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan
al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M
Tarmidzi, Erwandi,
Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet-5, Bogor: PT. Berkat Mulia Insani,
Juli 2013
Thabrani,ath-, Sulaiman
bin Ahmad bin Ayyub abu al-Qasim, al-Mu’jam al-Kabir, juz: 24, cet-2,
t.t.p, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1983 M
Zuhaili,az-, Wahbah,
Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, juz: 12, cet-3,
Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M
[1] Kamus Besar
Bahasa Indonesia, eds-3, cet-2, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 428
[2] Muhammad bin
al-Hamidi, Al-Jam’u baina Shahihaini Al-Bukhari wa Muslim, juz: 1,
Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M, hal. 99
[3] Shalih bin
Abdullah bin Hamid, Nadzratun Na’im fi Makarimi Akhlaqi Rasul, juz: 7,
cet-4, Jeddah: Dar al-Wasilah li An-Nasyri wa at-Tauzi’, hal. 2740
[4]
Antibodi yang
diberikan ibu kandunngnya secara pasif melalui plasenta kepada janin yang
dikandungnya. Senua bayi yang dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodi
dari ibu kandungnya.
[5] Hariyono Suyitno
dkk, Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi 4, cet-1, Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, hal. 7
[6] Ibid.
[7] Abu Ubaidah
Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan
al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M, hal. 326
[8] Erwandi
Tarmidzi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet-5, Bogor: PT. Berkat
Mulia Insani, Juli 2013, hal. 72. Lihat Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar
as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan al-Furqon
al-Islami, 1435 H/ 2014 M, hal. 325
[9] Ibid.
hal. 328
[10] Wahbah
az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah,
juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M, hal. 840. Lihat Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
juz: 7, t.t.p, t.p, hal. 426
[11] Wahbah
az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah,
juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M, hal. 816-817
[12] Ibid.
hal. 817
[13]
Abdul Hamid
Hakim, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyah,
Jakarta: Sa’adiyah Putra, hal. 32
[14] Abu Zakariya
Muhyid Din bin Syaraf an-Nawawi, Kitab al-Majmu’ syarh al-Muhadzab li
asy-Syirazi, cet-1, juz: 9, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, hal. 55
[15]
Abu Ubaidah
Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan
al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M, hal. 333
[16] Sulaiman bin
Ahmad bin Ayyub abu al-Qasim ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, juz: 24,
cet-2, t.t.p, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1983 M, hal. 254
[17]
Abu Ubaidah
Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan
al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M, hal. 333
[18] Wahbah
az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah,
juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M, hal. 822
[19] Ibid.
[20] Muhammad bin
al-Hamidi, Al-Jam’u baina Shahihaini Al-Bukhari wa Muslim, juz: 2,
Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M, hal. 104
[21] Wahbah
az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah,
juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M, hal. 836
[22] Abu Bakar
Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, juz: 1,
cet-1, India: Majlis Dairah al-Ma’arif an-Nidhamiyah, 1344 H, hal. 4
[23] Ali bin Umar
Abu al-Hasan ad-Daruquthni al-Baghdadi, Sunan ad-Daruquthni, juz: 1,
Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1386 H- 1966 H, hal. 21
[24] Abdul Hamid
Hakim, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyah,
Jakarta: Sa’adiyah Putra, hal. 32
1 comments:
Tugas makul apa ini? Fiqih Nawazilkah?
Post a Comment