بسم
الله الرحمن الرحيم
MEMAKAI CELAK
Wanita
dianjurkan memakai celak mata dengan tujuan mempercantik diri di hadapan suami
dan untuk pengobatan bila menderita penyakit mata. Nabi bersabda,”Pakailah
pakaian putih, karena ia adalah pakaian paling baik bagi kaliandan gunakanlah
kain putih sebagai kafan bagi orang-orang yang meninggal diantara kalian. Dan
sesungguhnya celak yang paling baik bagi kalian adalah itsmid, karena ia dapat
menjernihkan pandangan dan menyburkan bulu.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,
Nasa’I dan Ibnu Majah)
Namun
wanita tidak boleh memakai celak selama menjalani masa berkabung.
(diambil
dari kitab: Fiqih sunnah linnisa’, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, hal. 418
dan terjemahan, hal 576. Dan kitab Fiqih Mar’ah Muslimah, Syeikh al-Utsaimin,
hal. 19.)
Celak
mata tidak membatalkan puasa bagi laki-laki atau wanita menurut pendapat yang
paling benar, akan tetapi memakainya pada malam hari lebih utama bagi orang
yang sedang berpuasa.
(diambil dari Fatwa-fatwa wanita, jilid 1,
Syaikh bin Baaz)
Bercelak
itu sunnah baik bagi laki-laki maupun wanita. Dan dibolehkan bagi wanita untuk
bercelak dimanapun ia berada. Namun wanita muslimah tidak boleh menampakkan
matanya yang bercelak kepada lelaki ajnabi (yang bukan mahram). Karena
celak itu termasuk perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan seorang wanita
kecuali kepada sesama wanita atau kepada mahramnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ولَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“Dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita” (QS. An Nuur: 31).
(diambil
dari Fatwa Syaikh Khalid bin Ali Al Musyaiqih)
Seorang wanita ketika di hadapan
suaminya atau mahramnya atau di rumahnya diperbolehkan untuk bercelak kapanpun
juga ia menginginkannya,namun yang terbaik adalah ketika menjelang tidur.
Jabir bin Abdillah berkata,
Rasulullah bersabda:
عليكم بالإثمد عند النوم ، فإنه يجلو البصر ، ويُنبت
الشّعر
“Pakailah
celak itsmid ketika akan tidur,sebab ia menerangkan pandangan dan menumbuhkan
bulu mata”. (HR.Ibnu Majah,ath Thabraniy dan dishahihkan syaikh Muhammad Nashiruddin al
AlBaniy dalam shahihul jami)
Berkata Ibnu Qayim:
“Celak
dapat menjaga kesehatan mata,memperkuat cahaya mata,membersihkan unsur-unsur
yang jelek dan mengeluarkannya dan di antara jenis dan macam-macamnya berfungsi
sebagai hiasan dan ketika tidur memiliki kelebihan keutamaan karena mencakup
atas celak dan gerakan yang tidak membahayakan”.
Adapun tentang hukum memakainya ketika di dalam rumah, Syaikh Muhammad bin Shalih
Utsaimin mengatakan:
Bercelak ada dua macam:
1.
Untuk memperkuat
mata,menjernihkan selaput mata dan
membersihkan dengan tanpa ada maksud berhias.Maka ini tidaklah mengapa
bahkan sebaiknya dilakukan,terlebih lagi jika menggunakan celak itsmid karena
Nabi bercelak di kedua belah mata Beliau.
2. Untuk hiasan dan mempercantik diri, maka bagi kaum
wanita dianjurkan karena kaum wanita dianjurkan untuk berhias untuk
suaminya.Adapun bagi kaum lelaki maka perlu adanya pertimbangan dan saya belum
dapat memberikan hukum secara pasti.Bisa jadi dibedakan antara pemuda yang
apabila bercelak maka ditakutkan akan menyebabkan fitnah sehingga diharamkan
dan antara orang tua yang tidaklah ditakutkan timbulnya fitnah karenanya
sehingga tidak diharamkan”.
Adapun hukum memakainya ketika keluar rumah:
Seorang wanita ketika keluar dari
rumahnya diwajibkan untuk menutupi perhiasannya dari lelaki asing (bukan mahramnya)
berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat
An-Nur: 31, seperti yang telah disebutkan diatas.
Memakai celak ketika masa
berkabung
Bagi wanita yang ditinggal mati
suaminya, maka ia wajib menjalani masa ihdaad (berkabung), di mana
ketika itu ia tidak boleh berhias diri (termasuk memakai celak) dan tidak boleh
memakai harum-haruman Mengenai masa ihdaad disebutkan dalam hadits,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ
عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang
wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung (menjalani masa
ihdaad) atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian
suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334
dan Muslim no. 1491).
(diambil dari Muhtashar Zaadul Ma’ad: 4/322 dan Majmu’ Fatawa syaikh
Muhammad bin Shalih Utsaimin: 11/73)
MEMAKAI
INAI
Hukumnya boleh berdasarkan dalil dibawah ini:
Mu’adzah
menyatakan bahwa seorang wanita bertanya kepada Aisyah ra, “Apakah wanita haid
boleh memakai pewarna?” Aisyah menjawab, “Kami biasa memakai pewarna dengan
sepengetahuan Nabi SAW, tapi beliau tidak pernah melarang kita melakukannya.”
Wanita
juga boleh memakai inai ketika sedang dalam keadaan suci, tapi ia harus
menghilangkannya saat hendak wudhu. Ibnu Abbas ra berkata, “Istri-istri kami
biasa memakai inai di malam hari. Saat pagi tiba, mereka melepaskannya lalu
berwudhu dan shalat, kemudian memakai lagi setelah ashar. Sebelum dhuhur
melepaskannya lagi lalu wudhu dan sholat. Mereka memakai inai dengan cara yang
sangat baik dan tidak menghalangi shalat.
(diambil
dari Fiqih sunnah untuk wanita, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, hal : 578)
Banyak pertanyaan yang datang dari para wanita tentang memakai inai ini
pada rambut, dua tangan atau dua kaki ketika sedang haidh. Jawabannya adalah
hal ini tidak apa-apa karena inai sebagaimana diketahui bila diletakkan pada
bagian tubuh yang ingin dihias akan meninggalkan bekas warna dan warna ini
tidaklah menghalangi tersampaikannya air ke kulit, tidak seperti anggapan
keliru sebagian orang. Apabila si
wanita yang memakai inai tersebut membasuhnya pada kali pertama saja akan
hilang apa yang menempel dari inai tersebut dan yang tertinggal hanya warnanya
saja, maka ini tidak apa-apa.”
Namun yang harus diperhatikan
adalah:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Tidak
apa-apa berhias dengan memakai inai, terlebih lagi bila si wanita telah bersuami
dimana ia berhias untuk suaminya. Adapun wanita yang masih gadis, maka hal ini
mubah (dibolehkan) baginya, namun jangan menampakkannya kepada lelaki
yang bukan mahramnya karena hal itu termasuk perhiasan.” (Majmu’ Fatawa wa
Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 4/288). Dan jika
menampakkannya pada selain mahram maka termasuk tabarruj.
(diambil dari Majmu’
Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 4/288).
Diperbolehkan
bagi wanita muslimah memakai inai. Hal itu didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah, dia menceritakan “ada seorang wanita yang menyodorkan
sebuah kitab dengan tangannya kepada Rasulullah, lalu beliau menarik tangan
beliau, lalu wanita itu mengatakan,’Wahai Rasulullah, aku menyodorkan tanganku
kepadamu dengan sebuah kitab tetapi engkau tidak mengambilnya
Beliaupun
berkata, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui apakah itu tangan orang
perempuan atau orang laki-laki. ‘ia adalah tangan wanita,’papar wanita itu.
Maka beliau berkata,’seandainya aku seorang wanita, niscaya aku akan merubah
kukumu dengan daun pacar.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
(diambil
dari Fiqih Wanita, Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, Januari 2009, hal: 689)
Bagaimana jika inai digunakan untuk rambut?
Mengunakan
inai sebagai bahan tambahan untuk menyemir rambut dengan warna hitam yang
dicampur daun pacar (inai). Apakah diperbolehkan? Menyemir rambut dengan warna
hitam murni adalah haram. Namun, bila dicampur dengan warna lain sehingga
berubah menjadi warna kelam, maka hal tersebut tidak mengapa.
Rasulullah SAW bersabda:
غيّروا
هذا الشّيب واجتنبوا السّواد
“Ubahlah
warna uban ini, dan jauhilah warna hitam.”
(dianbil
dari Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Tata Rias Rambut Cara Islam, hal:
121
0 comments:
Post a Comment