Pages

Subscribe

Tuesday, 27 October 2015

Konsep Maqashid Syari’ah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah



Berbicara tentang ilmu maqashid syari’ah memang membuat kita semakin paham terhadap tujuan Sang Pembuat Syari’at. Dengan mencari dan mendalami begitu banyak hikmah dan kemashlahatan yang diberikan Allah melalui syari’at yang dibuat-Nya, karena Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui atas kebaikan hamba-Nya.
            Banyak ulama yang telah menorehkan ilmu tersebut di dalam karya-karya mereka. Namun, di sini penulis hanya fokus membahas salah satu pionir yang berkecimpung dengan ilmu maqashid syari’ah. Beliau adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
            Secara epistemologis, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tidak mempunyai buku utuh yang khusus membahas konsep maqashid, namun ia mempunyai beberapa buku yang di dalamnya mengandung nafas-nafas maqashid, di antaranya adalah I’lam al-Muwaqqi’īn, Syifā’ al-‘Alīl, Aḥkām ahl al-Dhimmah, dan Zād al-Ma’ād. Ibnu Qayyim berkata, “Syariat Islam dibangun berdasarkan asas hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Ia merupakan keadilan yang bersifat muthlak, kasih sayang, kemashlahatan, dan hikmah. Oleh karenanya, setiap persoalan yang bertolak belakang dari keadilan menuju kezaliman, kasih sayang menuju kekerasan, maslahat menuju kemudaratan, serta hikmah menuju sesuatu yang bernilai sia-sia, maka itu semua bukanlah bagian dari syari’at, sekalipun ditafsirkan sebagai syariat.”
            Ibnu Qayyim mempunyai pandangan tersendiri dalam maqashid syari’ah, beliau memahami bahwa tidak hanya terbatas pada al-kulliyah al-khams, bahkan lebih dari itu. Tujuan syari’ah sebenarnya adalah peneguhan diri untuk menyembah Allah Ta’ala semata.


Berikut beberapa contoh yang diutarakan oleh beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
1.       Allah berfirman,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
            “Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertakwa maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. Al-Ahzab: 32)
            Allah memerintahkan para istrinya agar tidak melemah-lembutkan ucapan mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan kebanyakan wanita, karena hal itu akan merangsang orang yang dalam hatinya ada penyakit syahwat. Meskipun demikian, mereka juga tidak boleh melontarkan ucapan secara kasar sehingga akan menimbulkan keburukan. Yang diperintahkan adalah agar mereka menyampaikan ucapan-ucapan yang baik.[1]
2.       Al-Lahazhat (pandangan pertama)
Yang satu ini bisa dikatakan sebagai ‘provokator’ syahwat, atau ‘utusan’ syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan pokok dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barangsiapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri pada jurang kebinasaan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
لا تتبع النظرة النظرة, فإنما لك الأولى و ليست لك الأخرى
            “Janganlah kamu ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan (pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya.” (HR. At-Tirmidzi)
            Dalam musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barangsiapa yang memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah semata, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
            Pandangan yang dilepaskan begitu saja akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati yang terasa dipanas-panasi. Oleh karena itu ada yang mengatakan, “Sesungguhnya menahan pandangan hatimu itu lebih mudah daripada menahan langgengnya penyesalan.”[2]
3.       Tuntunan Rasulullah tentang Zakat
Tuntunan Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam mengenai zakat merupakan tuntunan yang paling sempurna, baik dari pertimbangan waktu, ukuran, batasan, siapa yang harus mengeluarkan dan siapa yang berhak menerimanya. Dalam hal ini beliau mempertimbangkan kemashlahatan para pemilik harta dan juga kemashlahatan orang-orang miskin. Allah menjadikan zakat sebagai pembersih harta dan diri pemiliknya, sekaligus kenikmatan bagi orang-orang yang kaya. Nikmat itu tidak akan habis karena mereka mengekuarkan zakat, bahkan zakat itu akan menjaga harta dan mengembangkannya, menghilangkan gangguan dan menjadikannya sebagai penjaga atau pelindung harta benda.[3]
4.       Dzikir
Dzikir (mengingat Allah dengan hati dan menyebut-Nya dengan lisan) merupakan tempat persinggahan orang-orang yang agung, yang di sanalah mereka membekali diri, berniaga dank e sanalah mereka pulang kembali.
Dzikir merupakan santapan hati, yang jika tidak mendapatkannya, maka badan menjadi seperti kuburan dan mati. Dzikir merupakan senjata yang digunakan untuk menghadapi para perampok jalanan, merupakan air yang bisa menghilangkan rasa dahaga di tengah perjalanan, merupakan obat yang menyembuhkan penyakit. Jika mereka tidak mendapatkannya, maka hati mereka akan mengkerut, karena dzikir merupakan perantara dan penghubung antara diri mereka dengan alam ghaib. Dengan dzikir mereka menolak bencana dan menyingkirkan kesusahan, sehingga musibah yang menimpa mereka terasa remeh. Jika ada bencana yang datang, maka mereka berlindung kepada dzikir. Yang pasti dzikir merupakan taman syurga yang mereka diami dan modal kebahagiaan yang mereka pergunakan untuk berniaga.[4]
5.       Permulaan dan pembuka hijrah
Al-Waqidy berkata, “Aku diberitahu Muhammad bin Shalih, dari Ashim bin Umar bin Qatadah dan Yazid bin Ruman dan lain-lainnya, mereka mengatakan, bahwa Rasulullah menetap di Mekkah, dan selama tiga tahun semenjak awal nubuwah, beliau bergerak secara sembunyi-sembunyi. Kemudian menampakkannya pada tahun ke-4. Beliau mengajak manusia kepada Islam selama sepuluh tahun, dengan memanfaatkan momen musim haji pada setiap tahunnya. Beliau mendatangi orang-orang yang berhaji di tempat penginapan mereka, atau menemui mereka pada hari-hari raya di Ukazh, Majannah, maupun Dzul-Majaz. Pada kesempatan itulah beliau menyeru agar mereka sudi membela beliau, sehingga beliau bisa menyampaikan risalah Allah, dan beliau menjanjikan bahwa mereka akan mendapat syurga.
Tapi tak seorang pun yang menggubris seruan beliau dan tak seorang pun yang mau menolong beliau. Mereka menolak seruan beliau dengan cara yang amat buruk dan juga menyakitkan, seraya berkata, “keluarga dan kerabatmu yang lebih tahu tentang dirimu pun tidak sudi mengikutimu.”
Al-Waqidy berkata, “Di antara kabilah-kabilah yang didatangi dan diseru Rasulullah adalah Bani Amir bin Sha’-sha’ah, Muharib bin Hashafah, Fazarah, Ghassan, Murrah, Hanifah, Sulaim, Abs, Bani Nadzir, bani al-Buka’, Kindah, Kalb, al-Harits bin Ka’ab, Udzrah, al-Hadharimah, dan tak seorang pun di antara mereka yang mereaksi seruan beliau.
Inilah di antara hasil yang dilakukan Allah bagi Rasul-Nya, yaitu berawal dari kabilah Aus dan Khazraj yang mendengar dari sekutu mereka dari kalangan Yahudi Madinah, “Ada seorang nabi yang diutus pada zaman ini, lalu kami akan mengikutinya dan kami akan memerangi kalian seperti penyerangan terhadap kaum Ad dan Iram.[5]
Referensi
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Jangan Dekati Zina, PDF
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad bekal Menuju ke Akhirat, (Pustaka Azzam, Agustus 2000)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), cet-2, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Agustus 1999)


[1] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad bekal Menuju ke Akhirat, (Pustaka Azzam, Agustus 2000), hlm. 9
[2] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Jangan Dekati Zina, PDF
[3] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad bekal Menuju ke Akhirat, (Pustaka Azzam, Agustus 2000), hlm. 71
[4] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), cet-2, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Agustus 1999), hlm. 303-304
[5] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad bekal Menuju ke Akhirat, (Pustaka Azzam, Agustus 2000), hlm. 191-192

0 comments:

Post a Comment