Berbicara tentang ilmu maqashid syari’ah memang membuat kita
semakin paham terhadap tujuan Sang Pembuat Syari’at. Dengan mencari dan
mendalami begitu banyak hikmah dan kemashlahatan yang diberikan Allah melalui
syari’at yang dibuat-Nya, karena Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui atas
kebaikan hamba-Nya.
Banyak ulama yang
telah menorehkan ilmu tersebut di dalam karya-karya mereka. Namun, di sini
penulis hanya fokus membahas salah satu pionir yang berkecimpung dengan ilmu
maqashid syari’ah. Beliau adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Secara
epistemologis, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tidak mempunyai buku utuh yang khusus
membahas konsep maqashid, namun ia mempunyai beberapa buku yang di dalamnya
mengandung nafas-nafas maqashid, di antaranya adalah I’lam
al-Muwaqqi’īn, Syifā’ al-‘Alīl, Aḥkām ahl al-Dhimmah, dan Zād
al-Ma’ād. Ibnu Qayyim berkata, “Syariat Islam dibangun berdasarkan asas hikmah
dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Ia merupakan keadilan yang
bersifat muthlak, kasih sayang, kemashlahatan, dan hikmah. Oleh karenanya,
setiap persoalan yang bertolak belakang dari keadilan menuju kezaliman, kasih
sayang menuju kekerasan, maslahat menuju kemudaratan, serta hikmah menuju
sesuatu yang bernilai sia-sia, maka itu semua bukanlah bagian dari syari’at,
sekalipun ditafsirkan sebagai syariat.”
Ibnu Qayyim mempunyai
pandangan tersendiri dalam maqashid syari’ah, beliau memahami bahwa tidak hanya
terbatas pada al-kulliyah
al-khams, bahkan lebih dari itu. Tujuan syari’ah sebenarnya adalah
peneguhan diri untuk menyembah Allah Ta’ala semata.
Berikut
beberapa contoh yang diutarakan oleh beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
1.
Allah
berfirman,
يَا
نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا
مَعْرُوفًا
“Hai
istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu
bertakwa maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang
yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. Al-Ahzab: 32)
Allah
memerintahkan para istrinya agar tidak melemah-lembutkan ucapan mereka,
sebagaimana yang biasa dilakukan kebanyakan wanita, karena hal itu akan
merangsang orang yang dalam hatinya ada penyakit syahwat. Meskipun demikian,
mereka juga tidak boleh melontarkan ucapan secara kasar sehingga akan
menimbulkan keburukan. Yang diperintahkan adalah agar mereka menyampaikan
ucapan-ucapan yang baik.[1]
2.
Al-Lahazhat (pandangan pertama)
Yang satu ini bisa dikatakan sebagai ‘provokator’ syahwat, atau
‘utusan’ syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan pokok dalam usaha
menjaga kemaluan. Maka barangsiapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali,
niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri pada jurang kebinasaan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
لا تتبع النظرة
النظرة, فإنما لك الأولى و ليست لك الأخرى
“Janganlah kamu
ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan
(pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya.”
(HR. At-Tirmidzi)
Dalam musnad Imam
Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau
bersabda, “Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka
barangsiapa yang memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita,
ikhlas karena Allah semata, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan
sampai pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Pandangan yang
dilepaskan begitu saja akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati
yang terasa dipanas-panasi. Oleh karena itu ada yang mengatakan, “Sesungguhnya
menahan pandangan hatimu itu lebih mudah daripada menahan langgengnya
penyesalan.”[2]
3.
Tuntunan
Rasulullah tentang Zakat
Tuntunan Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam mengenai
zakat merupakan tuntunan yang paling sempurna, baik dari pertimbangan waktu,
ukuran, batasan, siapa yang harus mengeluarkan dan siapa yang berhak
menerimanya. Dalam hal ini beliau mempertimbangkan kemashlahatan para pemilik
harta dan juga kemashlahatan orang-orang miskin. Allah menjadikan zakat sebagai
pembersih harta dan diri pemiliknya, sekaligus kenikmatan bagi orang-orang yang
kaya. Nikmat itu tidak akan habis karena mereka mengekuarkan zakat, bahkan
zakat itu akan menjaga harta dan mengembangkannya, menghilangkan gangguan dan
menjadikannya sebagai penjaga atau pelindung harta benda.[3]
4.
Dzikir
Dzikir (mengingat Allah dengan hati dan menyebut-Nya dengan lisan)
merupakan tempat persinggahan orang-orang yang agung, yang di sanalah mereka
membekali diri, berniaga dank e sanalah mereka pulang kembali.
Dzikir merupakan santapan hati, yang jika tidak mendapatkannya,
maka badan menjadi seperti kuburan dan mati. Dzikir merupakan senjata yang
digunakan untuk menghadapi para perampok jalanan, merupakan air yang bisa
menghilangkan rasa dahaga di tengah perjalanan, merupakan obat yang
menyembuhkan penyakit. Jika mereka tidak mendapatkannya, maka hati mereka akan
mengkerut, karena dzikir merupakan perantara dan penghubung antara diri mereka
dengan alam ghaib. Dengan dzikir mereka menolak bencana dan menyingkirkan
kesusahan, sehingga musibah yang menimpa mereka terasa remeh. Jika ada bencana
yang datang, maka mereka berlindung kepada dzikir. Yang pasti dzikir merupakan
taman syurga yang mereka diami dan modal kebahagiaan yang mereka pergunakan
untuk berniaga.[4]
5.
Permulaan
dan pembuka hijrah
Al-Waqidy berkata, “Aku diberitahu Muhammad bin Shalih, dari Ashim
bin Umar bin Qatadah dan Yazid bin Ruman dan lain-lainnya, mereka mengatakan,
bahwa Rasulullah menetap di Mekkah, dan selama tiga tahun semenjak awal
nubuwah, beliau bergerak secara sembunyi-sembunyi. Kemudian menampakkannya pada
tahun ke-4. Beliau mengajak manusia kepada Islam selama sepuluh tahun, dengan
memanfaatkan momen musim haji pada setiap tahunnya. Beliau mendatangi
orang-orang yang berhaji di tempat penginapan mereka, atau menemui mereka pada
hari-hari raya di Ukazh, Majannah, maupun Dzul-Majaz. Pada kesempatan itulah
beliau menyeru agar mereka sudi membela beliau, sehingga beliau bisa
menyampaikan risalah Allah, dan beliau menjanjikan bahwa mereka akan mendapat
syurga.
Tapi tak seorang pun yang menggubris seruan beliau dan tak seorang
pun yang mau menolong beliau. Mereka menolak seruan beliau dengan cara yang
amat buruk dan juga menyakitkan, seraya berkata, “keluarga dan kerabatmu yang
lebih tahu tentang dirimu pun tidak sudi mengikutimu.”
Al-Waqidy berkata, “Di antara kabilah-kabilah yang didatangi dan diseru
Rasulullah adalah Bani Amir bin Sha’-sha’ah, Muharib bin Hashafah, Fazarah,
Ghassan, Murrah, Hanifah, Sulaim, Abs, Bani Nadzir, bani al-Buka’, Kindah,
Kalb, al-Harits bin Ka’ab, Udzrah, al-Hadharimah, dan tak seorang pun di antara
mereka yang mereaksi seruan beliau.
Inilah di antara hasil yang dilakukan Allah bagi Rasul-Nya, yaitu
berawal dari kabilah Aus dan Khazraj yang mendengar dari sekutu mereka dari
kalangan Yahudi Madinah, “Ada seorang nabi yang diutus pada zaman ini, lalu
kami akan mengikutinya dan kami akan memerangi kalian seperti penyerangan
terhadap kaum Ad dan Iram.[5]
Referensi
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Jangan Dekati Zina, PDF
Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad bekal Menuju ke Akhirat, (Pustaka
Azzam, Agustus 2000)
Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), cet-2,
(Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Agustus 1999)
[1] Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad bekal Menuju ke Akhirat, (Pustaka Azzam,
Agustus 2000), hlm. 9
[2] Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, Jangan Dekati Zina, PDF
[3] Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad bekal Menuju ke Akhirat, (Pustaka Azzam,
Agustus 2000), hlm. 71
[4] Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), cet-2,
(Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Agustus 1999), hlm. 303-304
[5]
Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, Zaadul Ma’ad bekal Menuju ke Akhirat, (Pustaka Azzam,
Agustus 2000), hlm. 191-192
0 comments:
Post a Comment