Pages

Subscribe

Tuesday, 27 October 2015

'Blue' Film (Film Porno) bagi Suami Istri



A.   Pendahuluan
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disah kan oleh agama. Dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
            Namun seiring berkembangnya peradaban manusia modern, pada akhirnya umat Islam tidak lagi peduli dengan syari’at yang mestinya menjadi penutan dan pegangan bagi mereka. Dilihat dari sudut pandang yang kedua, pernikahan memang suatu hal yang fitrah untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan cara yang halal.
            Bagi mereka yang paham tentang syari’at Islam dan baru saja menikah, tentunya belum mempunyai pengalaman dalam hal ini. Banyak media yang menuntun mereka untuk mengerti akan urusan ini. Jika tidak dibekali dengan ilmu syar’i, maka tidak akan bisa membedakan mana yang diperbolehkan atau yang dilarang oleh syari’at.
            Untuk urusan kebutuhan biologis, banyak media yang telah beredar ditengah masyarakat, seperti film porno. Tontonan ini sudah biasa di kalangan anak remaja apalagi yang sudah dewasa. Mungkin di antara kita ada yang jeli mempertanyakan hal ini, apakah boleh hukumnya, jika tontonan ini dikonsumsi oleh pasangan suami istri yang baru saja menikah dengan alasan untuk belajar atau mencari pengalaman?
            Risalah ini hanyalah satu usaha kecil dari sebuah proyek besar dalam penyadaran umat dan memberikan pemahaman yang benar, sehingga ajaran Islam yang begitu kompleks dan luas tidak lagi asing di tengah-tengah umat tersendiri.
B.   Definisi
Pengertian dari ‘blue film’ atau biasa disebut dengan BF (Film Biru) merupakan sebutan halus dari film porno/ mesum.[1]
Sedangkan makna porno atau pornografi sendiri adalah suatu penggambaran tingkah laku secara erotis[2] dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.[3] Bisa dikatakan juga film porno adalah sebuah sajian dalam bentuk dokumenter yang menyuguhkan adegan hubungan seksual antara lelaki dan wanita atau antara sesama jenis.
C.   Memandang seseorang yang bukan mahram
Hukumnya sudah tidak asing lagi bagi kita tentang masalah melihat kepada seseorang yang bukan mahram kita, yaitu haram kecuali ketika ada dharurat. Sebagaimana yang dicantumkan dalam kitab Fikih Sunnah li An-Nisa’ karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, diharamkan bagi seorang lelaki melihat wanita tanpa adanya dharurat, begitu pula hukum bagi seorang wanita. Oleh karenanya Allah mensyari’atkan dengan adanya Gadhul Bashar.[4] Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُون (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ….
            “Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, “Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka…” (QS. An-Nur: 30-31)
            Hadits Nabi juga menyebutkan, dari Jarir bin Abdullah, ia berkata,
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجَاءَةِ, فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ
            “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja), maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim)[5]
            Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya,ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada Ali Radhiyallahu ‘Anhu
يَا عَلِيّ ُ! لاَتُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ, فَإِنَّمَا لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الأَخِيْرَةُ                          
           
            “Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan (pandangan pertama yang tidak disengaja) dengan pandangan berikutnya, karena bagi engkau pandangan pertama dan tidak boleh bagimu pandangan yang terakhir (pandangan yang kedua).” (HR. At-Tirmidzi)[6]
            Adapun keadaan dharurat yang mengharuskan untuk melihat di antaranya adalah sebagai berikut:[7]
1.      Khitbah (meminang seorang wanita)
2.      Untuk pengobatan
3.      Keperluan seorang Qadhi atau ketika menjadi saksi
4.      Untuk bermu’amalah seperti jual beli. Imam An-Nawawi berkata, “seorang laki-laki boleh melihat wajah seorang wanita ajnabi[8] ketika dalam kesaksian dan jual beli. Dan boleh juga bagi seorang wanita.”[9]
D.   Melihat aurat orang lain
Sebagaimana hukum memandang kepada yang bukan mahram, melihat aurat orang lain yang bukan mahram pun juga diharamkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dari Abi Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi bersabda,
لَا يَنْظُرُ الرَجُلُ إِلىَ عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا المَرْأَةُ إِلىَ عَوْرَةِ المرْأَةِ….
            “Seseorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain dan begitu juga perempuan, tidak boleh melihat aurat perempuan lain.” (HR. Muslim)[10]
            Jika yang hanya memandang pada yang bukan mahram saja diharamkan, apalagi hukum melihat sesuatu yang mestinya disembunyikan dan merupakan aib bagi seseorang yaitu aurat, maka ini lebih diharamkan lagi.
E.   Menonton ‘Blue Film’ untuk pasangan suami istri
Pertumbuhan teknologi yang kian berkembang pesat telah menfasilitasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan maupun kebutuhan manusia. Apakah keperluan itu bersifat abstrak dan konkret, atau keperluan yang sekadar memenuhi keinginan semata, sekunder.
Sebagai pengakses dan pengguna fasilitas teknologi itu, kita senantiasa dihadapkan pada dua sudut pandang mengenai kemajuan tersebut, sisi positif dan negatif. Maka teknologi dipandang positif bila didayagunakan sebagai fasilitator (sarana) yang memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia. Sebaliknya, jika keberadaan teknologi justru digunakan untuk menciptakan malapetaka bagi keberlangsungan hidup manusia, sudah harus dilakukan upaya preventif dan langkah penanggulangan.
Dalam membahas film porno, tidak lain membahas tentang aurat seseorang yang bukan mahram baik yang ada di film tersebut sudah menikah atau bahkan zina yang diharamkan. Substansi persoalan film porno terletak pada eksploitasi aurat wanita dan lelaki, serta perilaku hubungan intim yang dipertontonkan, baik sengaja sebagai konsumsi publik atau tidak. Batasan aurat sebagaimana para ulama sepakati yaitu, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan wajah. Aurat lelaki antara pusar dan lutut. Aurat tersebut haram diperlihatkan bagi yang bukan mahramnya.[11]
Oleh karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan agar wanita muslimah menutupi auratnya, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka).” (QS. Al-Ahzab: 59).
Maka, karena alasan aurat itulah, Allah melengkapi penjelasan terkait masalah tersebut dalam al-Quran. Di mana seorang muslim dilarang melihat aurat wanita muslimah atau sebaliknya, bahkan pada batasan yang lebih spesifik, sesama jenis pun tidak dibenarkan memperlihatkan aurat vitalnya. Islam memberikan langkah preventif agar tidak terjerumus ke dalam lembah maksiat itu dengan memerintahkan setiap muslim atau muslimah menahan dan memelihara pandangan mereka. Tidak melihat aurat orang lain atau memperlihatkan aurat sendiri kepada orang lain.
Cermati bagaimana Islam memberikan langkah preventif agar tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan. “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya ….” (QS. An-Nuur: 30-31)
1.         Dampak negatif yang akan muncul
Sesuatu yang buruk dan diharamkan oleh syari’at, maka tidak lain di dalamnya mengandung mashalahah yang penting bagi kehidupan masyarakat. Dalam tayangan film porno banyak mengandung madharat yang bisa merusak kelangsungan generasi umat.
Video-video porno bisa berakibat fatal untuk kesehatan otak. Apalagi ditonton secara terus-menerus karena secara perlahan kecanduan film porno bisa merusak fisik dan mental.
Di antara dampak negatif yang akan ditimbulkan dari tayangan film porno adalah:[12]
a.         Mengecilnya ukuran otak
Menurut Ronald J. Hilton, seorang ahli bedah otak di San Antonio Hospital (US), menyatakan bahwa efek ketagihan porno mengakibatkan otak bagian tengah depan (VTA) secara fisik mengalami penyusutan. Inilah yang mengakibatkan orang yang sudah kecanduan porno berat, sulit untuk mengontrol perilakunya. Sehingga akan merusak sistem memori jangka pendek seseorang dan inilah yang membuatnya menjadi orang yang pelupa.
b.         Mengurangi kemampuan seksual
            Dilansir dari salah satu artikel Psychology Today, lelaki yang suka menonton film porno akan kesulitan menampilkan kemampuan di atas ranjang. Hal ini diakibatkan hilangnya dopamine dari tubuh karena secara terus-menerus distimulasi saat menonton porno. Dopamine merupakan nourotransmitter yang mengaktifkan respos tubuh terhadap rangsangan seks. Dengan kata lain, kemampuan rangsangan anda terhadap seks di dunia nyata tidak semaksimal di dunia maya.
c.         Kebutaan
Dalam kondisi normal, menonton film atau aktifitas visual lain akan memompa darah lebih kencang ke korteks visualutama ('kabel' penghubung mata dengan otak). Sedangkan darah akan dipompa lebih deras saat mata mendeteksi terdapat kontak seksual pada hal yang dilihatnya.
d.        Merusak hubungan seksual
Dapat merusak hubungan seksual dengan pasangan karena terbiasa membayangkan orang dalam berhungan seksual. Imajinasi adalah salah satu efek pornografi yang sangat kuat.
e.        Dalam banyak kasus, pornografi membuat seseorang kehilangan daya kerjanya. Yang tadinya aktif dan kreatif bisa menjadi tidak fokus dalam pekerjaan.
F.    Kesimpulan
Sudah jelas hukumnya tentang masalah ini yaitu haram. Tidak bisa dijadikan alasan bagi sepasang suami istri yang baru saja menikah atau yang sudah berumur untuk mengkonsumsi film porno ini dalam rangka untuk belajar bagaimana mestinya, karena menimbang madharat yang akan ditimbulkan lebih besar.
Saran dari penulis sendiri, bagi pasangan suami istri yang baru saja menikah, sangat mungkin belum mempunyai pengalaman dalam masalah ranjang. Namun sekarang, tanpa harus melihat film porno ada banyak buku terbitan yang membahas tentang masalah ranjang, salah satunya adalah buku yang berjudul ‘Sutra Ungu’ karya Abu Umar Basyir. atau mungkin hanya sekedar dengan komunikasi yang baik pun bisa mengatasi masalah ini.

Referensi
Al-Qur’anul Karim, Bandung: PT Syamil Cipta Media
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fikih Sunnah li An-Nisa’, Kairo: Dar at-Taufiqiyyah li at-Turats, 2009
Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz: 5, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi al-Kamil
Muhammad bin Futuh al-Hamidi, Shahih Bukhari dan Muslim, juz: 1 dan 2, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M
https://kitabgaul.com/word/bf, diakses 12:45, Jum’at 23 Oktober 2015


           



[1] https://kitabgaul.com/word/bf, diakses 12:45, Jum’at 23 Oktober 2015
[2] berkenaan dng sensasi seks yg menimbulkan rangsangan; bersifat merangsang nafsu berahi.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia versi al-Kamil
[4] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fikih Sunnah li An-Nisa’, (Kairo: Dar at-Taufiqiyyah li at-Turats, 2009), hlm. 401
[5] Muhammad bin Futuh al-Hamidi, Shahih Bukhari dan Muslim, juz: 1, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M), hlm. 197
[6] Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz: 5, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi), hlm. 101
[7] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fikih Sunnah li An-Nisa’, (Kairo: Dar at-Taufiqiyyah li at-Turats, 2009), hlm. 403-404
[8] Bukan mahram
[9] Ibid. hlm. 404
[10] Muhammad bin Futuh al-Hamidi, Shahih Bukhari dan Muslim, juz: 2, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M), hlm. 353

0 comments:

Post a Comment