Pages

Subscribe

Tuesday, 27 October 2015

Imunisasi dalam Aspek Islam



A.    Pendahuluan
Perkembangan zaman yang semakin pesat dalam bidang dan segi apapun, ilmu-ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang bervariasi seiring perkembangan peradaban dan kebudayaan. Semua itu mempengaruhi ilmu di bidang kedokteran turut berkembang semakin canggih dan modern.
Dalam bidang kedokteran dewasa ini ada sebuah ilmu yang membahas tentang penjagaan sistem imunitas dalam tubuh terhadap suatu penyakit yang mungkin datang belakangan. Sebenarnya hal seperti ini sudah ada di zaman baginda Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun untuk cara dan bahan yang digunakan sudah tak seperti dulu lagi.  Inilah yang sekarang disebut dengan imunisasi.
Pesatnya ilmu pengetahuan dalam bidang ini banyak melahirkan penemuan-penemuan baru. Praktek imunisasi sekarang ada yang menggunakan bahan haram kemudian mengalami perubahan yang kemudian eksistensinya menimbulkan pro-kontra sana sini yang membicarakannya.
Suka tidak suka memang harus kita akui bahwa di tengah dunia Islam berkembang dua pendapat yang saling berbeda tentang hukum imunisasi ini. Sebagian mengharamkan dan sebagian yang lain menghalalkan. Tentunya masing-masing datang dengan segenap argumen dan alasannya yang bisa dijadikan pegangan. Bagaimanakah sebenarnya polemik antara kedua pendapat tersebut? Di makalah inilah penulis ingin berbagi pengetahuan tentang imunisasi.
B.     Definisi
Sebenarnya persoalan yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini berasal dari kata imun (kebal). Maknanya berubah ketika mendapat imbuhan ‘isasi’. Imbuhan ’isasi’ menunjukkan makna proses.
Imunisasi berarti pengimunan, pengebalan (terhadap penyakit) yaitu pemerintah memberikan suntikan TCD kepada anak-anak dalam rangka pengebalan terhadap penyakit tipus, kolera dan disentri.[1]
C.    Berobat sebelum Tertimpa Penyakit (pencegahan)
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tepatnya di belahan bumi timur, tindakan pencegahan terhadap penyakit seperti ini sudah ada.  Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, 
مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةٍ, لَمْ يَضُرُّهُ ذَلِكَ اليَوْمَ سَمٌّ وَلَا سِحْرٌ
            “Barangsiapa makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada pagi hari, maka ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[2]
Juga ada sebuah perkataan yang mungkin sudah familiar di antara kita yaitu,
الوِقَايَةُ خَيْرٌ مِنَ العِلَاجِ
“Pencegahan itu lebih baik daripada mengobati”[3]
Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Kekebalan pasif secara alami adalah kekebalan yang didapatkan transplasental[4]. Sedangkan kekebalan pasif buatan adalah pemberian antibodi yang sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak.[5]
Secara alami kekebalan aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang berarti masuknya antigen yang akan merangsang tubuh anak membentuk antibodi sendiri secara aktif dan menjadi kebal karenanya.[6]
D.    Jenis Imunisasi
Imunisasi itu banyak macamnya, di antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT,  Imunisasi DT, Imunisasi TT, Imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varisella, Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku kedokteran. Intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu dihindari.[7]
Jika imunisasi menggunakan bahan yang halal tentu tidak menjadi masalah. Di pihak lain, sebagian imunisasi seperti imunisasi jenis vaksin polio khusus (IPV) dan vaksin meningitis yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan visa haji dan umrah yang diwajibkan oleh Saudi Arabia, diduga berasal dari enzim atau gelatin babi.[8] Babi jelas najis dan termasuk hewan yang haram dikonsumsi.
Sedangkan, berdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular an Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 8 Oktober 2002, dapat disimpulkan sebagai berikut:[9]
1.      Pemerintah berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).
2.      Virus polio jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik bagi yang menderitanya.
3.      Ada sejumlah anak balita yang menderita immunocopromise (kelainan system kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus.
4.      Jika mereka tidak diimunisasi, akan menderita penyakit polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyakit virus.
5.      Vaksin khusus tersebut (IPV) proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.
6.      Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikannya, jika diproduksi sendiri diperlukan investasi yang sangat besar sementara kebutuhan sangat terbatas.
Lalu bagaimana hukum fikih jika imunisasi seperti ini menggunakan barang yang haram dan najis?
E.     Kaidah Syar’i dalam Masalah Imunisasi
a.      Hukum Berobat dengan Barang Haram/ Najis
Dalam masalah ini terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, boleh dalam kondisi dharurat. Ini pendapat Syafi’iyah, Hanafiyah dan Ibnu Hazm.[10] Pada dasarnya tidak boleh memilih rukhshah (keringanan) atau hukum-hukum istitsnaiyah (terkecuali) kecuali dalam keadaan khusus itupun tidak terus-menerus dan tidak dibebaskan, karena keringanan adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala yang dibangun atas udzur (alasan) para hamba-Nya. Hukum itu dibangun untuk menjaga kebutuhan mereka, misalnya keringanan bagi orang yang bepergian, sakit atau orang terpaksa makan atau minum barang yang diharamkan secara syar’i ketika dalam keadaan dharurat untuk menyelamatkan kehidupan dari kematian karena lapar atau haus dan tidak ada sesuatu yang halal untuk menggantikannya.[11]
Dari kaidah-kaidah ketika dalam keadaan terpaksa antara lain:[12]
1.      Jumhur berpendapat, membatasi diri dalam menggunakannya ketika dalam keadaan terpaksa dengan batasan yang paling rendah atau kadar yang semestinya untuk mencegah bahaya. Sebagaimana kaidah fikih,
مَا اُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Sesuatu yang dibolehkan ketika dalam keadaan dharurat itu diukur sesuai dengan kadarnya.”[13]
2.      Seorang dokter muslim yang adil dan dipercaya dalam agama dan ilmunya hendak mensifati keharaman dengan syarat tidak mendapatkan obat ganti lain yang diperbolehkan secara syar’i dan juga dapat menggantikan posisinya, mewujudkan kesembuhan yang diharapkan. Boleh juga berobat dengan barang najis jika tidak mendapatkan barang halal yang bisa menggantikannya. Jika mendapatkan yang halal, maka yang najis haram tanpa adanya perselisihan.[14]
3.      Dihalalkan bagi orang yang terpaksa atau membutuhkan untuk makan sesuatu yang haram baik makanan ataupun obat karena untuk mencegah bahaya, menjaga kesehatan, melindungi dari kebinasaan, karena dharurat membolehkan untuk memakan sesuatu dari yang haram. Dengan dalil keumuman ayat,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.“ (QS. Al-An’am [6]: 119)
Kedua, tidak boleh secara muthlak. Inilah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah.[15]
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَاءَ وَالدَوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obat, berobatlah dan jangan berobat dengan benda yang haram.” (HR. ath-Thabrani)[16]
Pendapat yang rajih adalah pendapat pertama. Tidak boleh berobat dengan bahan haram kecuali dalam keadaan dharurat dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:[17]
1.      Termasuk penyakit yang harus diobati.
2.      Yakin benar bahwa obat tersebut sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
3.      Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
b.      Bahan Haram yang Melalui Proses Istihalah
Dalam ilmu kedokteran, bahan haram pun bisa dijadikan untuk imunisasi seperti enzim babi. Untuk bisa dijadikan bahan imunisasi otomatis bahan haram itu mengalami proses perubahan, sehingga bisa menjadi bentuk cairan (suntik) atau pun bentuk yang lain. Perubahan ini dalam ilmu fikih dinamakan istihalah.
Kalimat istihalah dalam bahasa Arab mempunyai dua makna:[18]
1.      Mustahil atau tidak mungkin.
2.      Berubahnya sesuatu dari bentuk dan sifatnya atau berubahnya dzat, sifat dan nama. Inilah makna yang berkaitan dengan pembahasan ini. Sudah jelas dalam menerangkan berubahnya hakikat sesuatu dan bentuknya yang bermacam-macam kepada sesuatu yang lain atau macam yang lain.
Yang dimaksud istihalah dalam istilah fikih adalah berpindahnya sesuatu atau berubahnya dari segi sifat.[19] Seperti khamr berubah menjadi cuka, babi menjadi garam, minyak menjadi sabun atau yang lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah,
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Kulit bangkai yang disamak, maka suci.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)[20]
Bahwa makanan atau obat yang baru, bahan awalnya terdapat unsur najis atau membahayakan, kemudian mencair dan bercampur dengan bahan lainnya hingga menjadi sesuatu yang lain, maka halal mengambil manfaat darinya, karena benda itu dan juga sarinya telah berubah dan menjadi sesuatu yang lain.[21]

c.       Bahan Haram yang Bercampur (Istihlak)
 Salah satu pengertian istihlak adalah apabila sesuatu yang najis itu dikalahkan dengan air, maka menjadi suci. Ini pendapat al-Hanafiyah dan al-Malikiyah dengan dalil,
الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya.” (HR. Abu Dawud)[22]
إِذَا بَلَغَ المَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi oleh kotoran (najis).” (HR. ad-Daruquthni)[23]
Dengan dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram bila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya maka dia menjadi suci.
d.      Dalam Keadaan Dharurat
Sebagimana yang telah dijelaskan di atas, dalam keadaan dharurat ataupun terdesak yang mengharuskan untuk menerjang keharaman dan itu hukumnya boleh jika seseorang itu berkeyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan mendapat bahaya yang lebih besar. Sebagaimana dalam kaidah fikih dikatakan,
الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَحْظُوْرَاتِ
“Dharurat itu membolehkan suatu yang terlarang.”[24]
e.       Ada Kemudahan dalam Kesempitan
Sesungguhnya syari’at Islam itu dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil yang mendasari hal ini. Hingga jika ada kesulitan, maka akan ada tambahan kemudahan lagi.
الأَشْيَاءُ إِذَا اتَّسَعَتْ ضَاقَتْ
“Segala sesuatu apabila sempit, maka menjadi luas.”[25]
F.     Kesimpulan
Dari keterangan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa imunisasi itu dilakukan tergantung penyakit apa yang mau dihindari. Untuk imunisasi IPV maupun lainnya yang mengandung bahan haram, kami memandangnya boleh dilakukan karena melihat sisi maqashid syari’ah (yaitu menjaga jiwa) dan di antaranya dengan syarat sebagai berikut:
1.      Imunisasi ini diperlukan sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.
2.      Termasuk penyakit yang harus diobati.
3.      Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lain dan nama maupun sifatnya telah berubah.
4.      Tidak ditemukan obat pengganti lainnya yang mubah.
5.      Dilakukan dalam kondisi dharurat.
6.      Menggunakannya sesuai kadar yang dibutuhkan.
7.      Efek samping yang ditimbulkan dari imunisasi tidak lebih besar dari penyakit yang akan timbul jika tidak melakukan imunisasi.
Dengan ini kami berharap semoga ilmu kedokteran semakin maju dan menemukan obat yang bisa menggantikan imunisasi dengan bahan haram ini. Sehingga obat-obatan kita bersih dari unsur keharaman dan juga najis.
Demikian makalah yang dapat kami paparkan dan kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi bahasa, diksi maupun kekurangan materi, maka kritik dan saran sangatlah kami butuhkan untuk menjadi bahan koreksi supaya makalah ke depan yang kami sajikan menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim dan terjemahannya, Bandung: PT Syamil Cipta Media.
Baghdadi,al-, Ali bin Umar Abu al-Hasan ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, juz: 1, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1386 H- 1966 H
Baihaqi,al-, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali, as-Sunan al-Kubra, juz: 1, cet-1, India: Majlis Dairah al-Ma’arif an-Nidhamiyah, 1344 H
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra
Hamid, bin, Shalih bin Abdullah, Nadzratun Na’im fi Makarimi Akhlaqi Rasul, juz: 7, cet-4, Jeddah: Dar al-Wasilah li An-Nasyri wa at-Tauzi’
Hamidi, al-, Muhammad bin, Al-Jam’u baina Shahihaini Al-Bukhari wa Muslim, juz: 1, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M
Suyitno, Hariyono dkk, Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi 4, cet-1, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Ibnu Hazm, Al-Muhalla, juz: 7, t.t.p, t.p
Kamus Besar Bahasa Indonesia, eds-3, cet-2, Jakarta: Balai Pustaka
Nawawi,an-, Abu Zakariya Muhyid Din bin Syaraf, Kitab al-Majmu’ syarh al-Muhadzab li asy-Syirazi, cet-1, juz: 9, Jeddah: Maktabah al-Irsyad
Sidawi,as-, Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M
Tarmidzi, Erwandi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet-5, Bogor: PT. Berkat Mulia Insani, Juli 2013
Thabrani,ath-, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub abu al-Qasim, al-Mu’jam al-Kabir, juz: 24, cet-2, t.t.p, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1983 M
Zuhaili,az-, Wahbah, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, eds-3, cet-2, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 428
[2] Muhammad bin al-Hamidi, Al-Jam’u baina Shahihaini Al-Bukhari wa Muslim, juz: 1, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M, hal. 99
[3] Shalih bin Abdullah bin Hamid, Nadzratun Na’im fi Makarimi Akhlaqi Rasul, juz: 7, cet-4, Jeddah: Dar al-Wasilah li An-Nasyri wa at-Tauzi’, hal. 2740
[4] Antibodi yang diberikan ibu kandunngnya secara pasif melalui plasenta kepada janin yang dikandungnya. Senua bayi yang dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodi dari ibu kandungnya.
[5] Hariyono Suyitno dkk, Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi 4, cet-1, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal. 7
[6] Ibid.
[7] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M, hal. 326
[8] Erwandi Tarmidzi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet-5, Bogor: PT. Berkat Mulia Insani, Juli 2013, hal. 72. Lihat Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M, hal. 325
[9] Ibid. hal. 328
[10] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M, hal. 840. Lihat Ibnu Hazm, Al-Muhalla, juz: 7, t.t.p, t.p,  hal. 426
[11] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M, hal. 816-817
[12] Ibid. hal. 817
[13] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra, hal. 32
[14] Abu Zakariya Muhyid Din bin Syaraf an-Nawawi, Kitab al-Majmu’ syarh al-Muhadzab li asy-Syirazi, cet-1, juz: 9, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, hal. 55
[15] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M, hal. 333
[16] Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub abu al-Qasim ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, juz: 24, cet-2, t.t.p, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1983 M, hal. 254
[17] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet-1, Gresik: Yayasan al-Furqon al-Islami, 1435 H/ 2014 M, hal. 333
[18] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M, hal. 822
[19] Ibid.
[20] Muhammad bin al-Hamidi, Al-Jam’u baina Shahihaini Al-Bukhari wa Muslim, juz: 2, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1423 H/ 2002 M, hal. 104
[21] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah, juz: 12, cet-3, Damaskus: Dar al-Fikr, 2012 M, hal. 836
[22] Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, juz: 1, cet-1, India: Majlis Dairah al-Ma’arif an-Nidhamiyah, 1344 H, hal. 4
[23] Ali bin Umar Abu al-Hasan ad-Daruquthni al-Baghdadi, Sunan ad-Daruquthni, juz: 1, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1386 H- 1966 H, hal. 21
[24] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra, hal. 32
[25] Ibid, hal. 30

1 comments:

Unknown said...

Tugas makul apa ini? Fiqih Nawazilkah?

Post a Comment