A.
Pendahuluan
Betapa indah
syari’at Islam yang Allah tetapkan bagi umat nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Dia mengaturnya sesuai dengan kemashlahatan dan kebutuhan
hamba-Nya. Untuk para wanita khususnya, yang telah Allah muliakan dengan
datangnya Islam. Islamlah yang menjadikan mereka banyak memiliki keutamaan dan
keistimewaan.
Dengan
mengikuti sunnah nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mereka akan
dipandang mulia dan istimewa, namun tidak sedikit orang yang tidak memahami hal
ini. Islam mengajarkan penganutnya agar senantiasa menjaga kebersihan baik
zhahir maupun bathinnya. Melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, Islam mengajarkan sunnah-sunnah fitrah salah satunya adalah
berkhitan. Di kalangan mayoritas masyarakat, mereka menganggap bahwa khitan itu
wajib bagi kaum laki-laki saja.
Bagaimana
dengan wanita? Apakah hukumnya sama atau
berbeda? Lewat makalah inilah kami akan mengulas tentang hukum berkhitan bagi
wanita dan hikmah di balik syari’at-Nya.
B.
Definisi
1. Secara bahasa
الختان : tempat yang dipotong dari laki-laki
dan wanita. Dikatakan juga bersih khitannya. Bentuk mashdar dari fi’il ختن yang artinya
memotong.
2. Secara
istilah
Khitan adalah
memotong kulit yang menutupi ujung dzakar laki-laki. Memotong bagian ujung
kulit dari farj wanita.
C.
Yang Pertama
Berkhitan
Allah Ta’ala pertama kali
memerintahkan khitan itu kepada kekasih-Nya yaitu nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda,
اخْتَتَنَ
إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
“Nabi Ibrahim
berkhitan ketika sudah berumur delapan puluh tahun dengan menggunakan
kapak_ringan.” (HR. Al-Bukhari)[1]
D.
Anjuran untuk
berkhitan
Khitan
merupakan salah satu dari syi’ar-syi’ar Islam dan sunnah nabi. Dari Nabi
Ibrahim hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian
sampai kepada kita umat Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu
(Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang
musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)
Dari
Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
خمس من الفطرة الختان و الاستحداد وتقليم الأظفار ونتف الإبط وقص الشارب
“Lima hal
termasuk fitrah (kesucian): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku,
mencabut bulu ketiak, menipiskan kumis.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ibnu
Majah)[2]
Termasuk penjelasan di atas,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang
laki-laki yang masuk Islam,
أَلْقِ عَنْكَ
شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Buanglah darimu rambut kekufuran
dan berkhitanlah.” (HR. Baihaqi)[3]
E.
Hukum Khitan
bagi Wanita
Di sini pendapat yang banyak
diambil para ulama, seperti ulama Hanafiyah, Malikiyah, Imam Ahmad, Ibnu
Qudamah dan Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin adalah: khitan bagi wanita itu
sebuah kemuliaan, kesempurnaan dan tidak wajib.
Salah satu
hadits yang menjadi dalil disyari’atkannya khitan baik bagi laki-laki maupun
wanita adalah “Jika bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ahmad)[4]
sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab ‘Al-Mufashshal’.
Dari Ummu ‘Athiyah Al-Anshariyah,
bahwa ada seorang wanita Madinah yang dikhitan, kemudian Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam mengatakan kepadanya,
لاَ تَنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ ، وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
“Janganlah
kamu berlebihan dalam khitan (memotongnya), sesungguhnya hal itu akan menambah
kelezatan bagi wanita dan akan disukai oleh suami.” Abu
Dawud mengatakan: Hadits ini dha’if.
H. Tata Cara
1.
Waktunya
Untuk waktu
berkhitan memang luas dan ada perselisihan di kalangan para ulama. Boleh
melaksanakannya pada hari ke tujuh setelah kelahiran, sebagaimana yang dikatakan
Hanbal, bahwa Abu ‘Abdullah (Ahmad bin Hanbal) berkata: jika berkhitan pada
hari ketujuh, maka tidak mengapa.
Menurut
pandapat Asy-Syafi’iyah, disunnahkan berkhitan pada hari ke tujuh dari
kelahiran. Menurut AL-Hanafiyah, waktu yang dipilih untuk khitan adalah dimulai
dari umur tujuh tahun sampai dua belas tahun.
2.
Bagian yang
dipotong
Seorang wanita
mempunyai dua kulup. Pertama, keperawanan. Kedua, inilah bagian
yang dipotong yaitu yang seperti jengger ayam yang berada di ujung farj
diantara dua tepi kemaluan wanita dan jika dipotong maka tersisalah intinya.
Al-Juwaini
berkata: Kadar yang berhak diambil dari seorang wanita adalah sebagaimana dalam
hadits yang menunjukkan atas perintah dengan sedikit. Rasulullah bersabda, “kamu
berikan kehormatan dan jangan berlebihan.”
3.
Siapa yang
mengkhitan
Menurut
pertimbangan yang pasti, bahwa yang baik dalam pekerjaan mengkhitan adalah
laki-laki untuk laki-laki dan wanita untuk wanita, namun seorang ayah hendaknya
mengkhitan anaknya sewaktu kecil, membekamnya atau mengobatinya karena jika si
anak meninggal, maka si ayah tidak mendapat tanggungan begitu juga dengan
seorang ibu.
Jika tidak
didapati orang tua yang ahli dalam khitan, maka bisa diserahkan kepada yang
professional dalam hal khitan seperti dokter.
F.
Hikmah
Khitan
merupakan pangkal fitrah dan salah satu syi’ar Islam, berkhitan sebagai
pernyataan ‘ubudiyah dan bentuk ketaatan terhadap perintah Allah. Berkhitan
juga menjadi pembeda antara kaum muslim dengan pengikut agama lain.
Khitan
merupakan ‘shibghatullah’ (celupan Allah). Mujahid berkata: ‘shibghatullah’
sama dengan ‘fithratullah’, yang lain mengatakan: ‘dinullah’.
Termasuk di dalamnya khitan yang menjadi bagian dari kesucian, kebersihan,
keindahan, baiknya naluri dan mengurangi (menyeimbangkan) syahwat yang jika
berlebihan manusia menjadi seperti hewan, namun jika tidak ada seluruhnya, maka
menjadi seperti benda mati (kaku/dingin). Dengan khitan inilah yang kemudian
menyeimbangkan, tidak berlebih dan tidak kurang.
G.
Penutup
Dari pemaparan di atas bisa diambil
kesimpulan bahwa hukum khitan bagi wanita itu tidak wajib. Khitan wanita
tidak seperti laki-laki yaitu yang tujuannya untuk menyucikan dari najis yang
tertahan di kulup yang menurut sebagian ulama’ dapat menyebabkan shalat dan
sebagian ibadah lainnya tidak diterima, namun kalau wanita untuk mencari
kesempurnaan dan bukan untuk menghilangkan suatu penyakit.
Tentunya untuk mencapai
kesempurnaan (syahwat yang tidak kurang, tidak lebih dan juga lebih disukai
suami) itu harus tepat, yaitu ketika
mengkhitan tidak boleh berlebihan, jika berlebihan maka akan melemahkan
syahwat. Berbeda jika tidak berlebihan, maka tujuannya akan tercapai.
[1] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid: 8, cet: 1, t.t.p: Daar
Thauqun Najah, 1422 H. hal. 66
[2] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul
Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, jilid: 11, Qahirah: Darul Hadits, 1424 H/
2004 M. hal. 100. Lihat Abi Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini, Sunan
Ibnu Majah, jilid:1, Bab Al-Fitrah, Beirut: Darul Fikr, 2010 M. hal. 107
[3] Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain, Sunan
Al-Kubra, jilid: 1, cet: 1, India: t.p., 1344 H. hal. 172
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin
Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M. hal. 151
0 comments:
Post a Comment