Pages

Subscribe

Monday, 27 April 2015

Hukum Khitan bagi Wanita



A.    Pendahuluan
Betapa indah syari’at Islam yang Allah tetapkan bagi umat nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dia mengaturnya sesuai dengan kemashlahatan dan kebutuhan hamba-Nya. Untuk para wanita khususnya, yang telah Allah muliakan dengan datangnya Islam. Islamlah yang menjadikan mereka banyak memiliki keutamaan dan keistimewaan.
Dengan mengikuti sunnah nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mereka akan dipandang mulia dan istimewa, namun tidak sedikit orang yang tidak memahami hal ini. Islam mengajarkan penganutnya agar senantiasa menjaga kebersihan baik zhahir maupun bathinnya. Melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Islam mengajarkan sunnah-sunnah fitrah salah satunya adalah berkhitan. Di kalangan mayoritas masyarakat, mereka menganggap bahwa khitan itu wajib bagi kaum laki-laki saja.
Bagaimana dengan wanita? Apakah hukumnya sama  atau berbeda? Lewat makalah inilah kami akan mengulas tentang hukum berkhitan bagi wanita dan hikmah di balik syari’at-Nya.
B.   Definisi
1. Secara bahasa
الختان : tempat yang dipotong dari laki-laki dan wanita. Dikatakan juga bersih khitannya. Bentuk mashdar dari fi’il ختن yang artinya memotong.
2. Secara istilah
Khitan adalah memotong kulit yang menutupi ujung dzakar laki-laki. Memotong bagian ujung kulit dari farj wanita.
C.    Yang Pertama Berkhitan
Allah Ta’ala pertama kali memerintahkan khitan itu kepada kekasih-Nya yaitu nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
            “Nabi Ibrahim berkhitan ketika sudah berumur delapan puluh tahun dengan menggunakan kapak_ringan.” (HR. Al-Bukhari)[1]
D.    Anjuran untuk berkhitan
Khitan merupakan salah satu dari syi’ar-syi’ar Islam dan sunnah nabi. Dari Nabi Ibrahim hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian sampai kepada kita umat Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
            “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
خمس من الفطرة الختان و الاستحداد وتقليم الأظفار ونتف الإبط وقص الشارب
“Lima hal termasuk fitrah (kesucian): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menipiskan kumis.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah)[2]
            Termasuk penjelasan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ketika ada seorang laki-laki yang masuk Islam,
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
            “Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Baihaqi)[3]
E.     Hukum Khitan bagi Wanita
Di sini pendapat yang banyak diambil para ulama, seperti ulama Hanafiyah, Malikiyah, Imam Ahmad, Ibnu Qudamah dan Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin adalah: khitan bagi wanita itu sebuah kemuliaan, kesempurnaan dan tidak wajib.
Salah satu hadits yang menjadi dalil disyari’atkannya khitan baik bagi laki-laki maupun wanita adalah “Jika bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ahmad)[4] sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab ‘Al-Mufashshal’.
            Dari Ummu ‘Athiyah Al-Anshariyah, bahwa ada seorang wanita Madinah yang dikhitan, kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan kepadanya,
لاَ تَنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ ، وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
            “Janganlah kamu berlebihan dalam khitan (memotongnya), sesungguhnya hal itu akan menambah kelezatan bagi wanita dan akan disukai oleh suami.” Abu Dawud mengatakan: Hadits ini dha’if.
            H. Tata Cara
1.      Waktunya
Untuk waktu berkhitan memang luas dan ada perselisihan di kalangan para ulama. Boleh melaksanakannya pada hari ke tujuh setelah kelahiran, sebagaimana yang dikatakan Hanbal, bahwa Abu ‘Abdullah (Ahmad bin Hanbal) berkata: jika berkhitan pada hari ketujuh, maka tidak mengapa.
Menurut pandapat Asy-Syafi’iyah, disunnahkan berkhitan pada hari ke tujuh dari kelahiran. Menurut AL-Hanafiyah, waktu yang dipilih untuk khitan adalah dimulai dari umur tujuh tahun sampai dua belas tahun.
2.      Bagian yang dipotong
Seorang wanita mempunyai dua kulup. Pertama, keperawanan. Kedua, inilah bagian yang dipotong yaitu yang seperti jengger ayam yang berada di ujung farj diantara dua tepi kemaluan wanita dan jika dipotong maka tersisalah intinya.
Al-Juwaini berkata: Kadar yang berhak diambil dari seorang wanita adalah sebagaimana dalam hadits yang menunjukkan atas perintah dengan sedikit. Rasulullah bersabda, “kamu berikan kehormatan dan jangan berlebihan.”
3.      Siapa yang mengkhitan
Menurut pertimbangan yang pasti, bahwa yang baik dalam pekerjaan mengkhitan adalah laki-laki untuk laki-laki dan wanita untuk wanita, namun seorang ayah hendaknya mengkhitan anaknya sewaktu kecil, membekamnya atau mengobatinya karena jika si anak meninggal, maka si ayah tidak mendapat tanggungan begitu juga dengan seorang ibu.
Jika tidak didapati orang tua yang ahli dalam khitan, maka bisa diserahkan kepada yang professional dalam hal khitan seperti dokter.
F.     Hikmah
Khitan merupakan pangkal fitrah dan salah satu syi’ar Islam, berkhitan sebagai pernyataan ‘ubudiyah dan bentuk ketaatan terhadap perintah Allah. Berkhitan juga menjadi pembeda antara kaum muslim dengan pengikut agama lain.
Khitan merupakan ‘shibghatullah’ (celupan Allah). Mujahid berkata: ‘shibghatullah’ sama dengan ‘fithratullah’, yang lain mengatakan: ‘dinullah’. Termasuk di dalamnya khitan yang menjadi bagian dari kesucian, kebersihan, keindahan, baiknya naluri dan mengurangi (menyeimbangkan) syahwat yang jika berlebihan manusia menjadi seperti hewan, namun jika tidak ada seluruhnya, maka menjadi seperti benda mati (kaku/dingin). Dengan khitan inilah yang kemudian menyeimbangkan, tidak berlebih dan tidak kurang.
G.    Penutup
Dari pemaparan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa hukum khitan bagi wanita itu tidak wajib. Khitan wanita tidak seperti laki-laki yaitu yang tujuannya untuk menyucikan dari najis yang tertahan di kulup yang menurut sebagian ulama’ dapat menyebabkan shalat dan sebagian ibadah lainnya tidak diterima, namun kalau wanita untuk mencari kesempurnaan dan bukan untuk menghilangkan suatu penyakit.
Tentunya untuk mencapai kesempurnaan (syahwat yang tidak kurang, tidak lebih dan juga lebih disukai suami)  itu harus tepat, yaitu ketika mengkhitan tidak boleh berlebihan, jika berlebihan maka akan melemahkan syahwat. Berbeda jika tidak berlebihan, maka tujuannya akan tercapai.


[1] Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid: 8, cet: 1, t.t.p: Daar Thauqun Najah, 1422 H. hal. 66
[2] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, jilid: 11, Qahirah: Darul Hadits, 1424 H/ 2004 M. hal. 100. Lihat Abi Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, jilid:1, Bab Al-Fitrah, Beirut: Darul Fikr, 2010 M. hal. 107
[3] Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain, Sunan Al-Kubra, jilid: 1, cet: 1, India: t.p., 1344 H. hal. 172
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, jilid: 43, cet-1, Muassasatur Risalah, 1421 H/ 2001 M. hal. 151

0 comments:

Post a Comment