A. Pendahuluan
Kaum muslimin yang hidup di zaman yang penuh fitnah sekarang ini
ibarat menggenggam bara api. Di antara fitnahnya datang dari orang-orang barat
yang senantiasa tidak akan ridha terhadap Islam hingga kaum muslimin mengikuti millah
mereka. Sebagaimana yang telah termaktub dalam kitab suci al-Qur’an,
وَلَنْ
تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ …
“Dan orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan rela kepadamu
(Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka…” (QS. Al-Baqarah: 120)
Beberapa tahun belakangan ini telah muncul berbagai istilah-istilah
serapan dari barat yang kemudian disandingkan dengan kata Islam. tentu
perkawinan kata tersebut sudah pasti mempunyai misi dan visi yang terselubung
dimana jika tidak dilihat dan diteliti secara cermat, maka akan menimbulkan
berbagai problem yang mendera kaum muslimin. Sesungguhnya Islam adalah Islam,
tidak ada Islam kanan atau Islam kiri. Tidak ada Islam radikal, Islam
Fundamental maupun Islam abangan.
Salah satu contoh kongkrit yang muncul dari barat adalah adanya
golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal” yang
sering kita dengar dengan singkatan JIL. Sedangkan dari segi terminologi
liberal sendiri berarti bersifat bebas atau berpandangan bebas[1].
Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat
dan jelas, harus diliberalkan atau dibuat sedemikian bebas yang sesuai dengan
kondisi zaman.
Kemudian salah satu istilah yang marak di kalangan cendekiawan
muslim yaitu “Islam Moderat”. Apakah sebenarnya Islam Moderat ini? Dan dari manakah
paham ini muncul? Lewat makalah inilah penulis akan berusaha memaparkan tentang
apa yang dimaksud dengan istilah Islam Moderat.
B. Islam Moderat Paham dari Barat
Saat
ini kaum muslimin terjatuh dalam malapetaka besar dan krisis dalam segala
bidang karena sikap mereka yang salah terhadap syari’at Islam. Mereka adalah
kaum ‘cendekiawan’ muslim yang silau dengan kemajuan Barat, minder untuk
berpegang teguh dengan syari’at Islam. Bagi mereka, kemajuan dan sikap moderat
adalah mencampakkan bagian-bagian syari’at Islam yang tidak disukai oleh Barat
dan memahami Islam sebagaimana pemahaman yang diinginkan oleh tuan-tuan besar
Barat.[2]
Mereka
para kaum intelektual didikan Barat, atas nama kemajuan, perubahan zaman, ‘ijtihad’,
‘tajdid’, ‘reformasi’, ‘studi kritis’ dan istilah-istilah menawan
tapi beracun lainnya, mereka tanpa sedikit pun merasa bersalah mengacak-acak
dan menusuk hal-hal yang telah baku dalam syari’at Islam.[3]
Para
tokoh Liberal juga telah banyak membahasnya dalam artikel mereka, salah satunya
adalah tokoh Ulil Abshar Abdalla[4]
yang dimuat dalam situs www.islamlib.com.
Kata
‘moderat’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cenderung ke arah jalan
tengah.[5] Dan sekarang kata itu disandingkan dengan kata Islam yang kemudian
menimbulkan makna baru.
Ulil
Abshar Abdalla memberikan pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari
Tawfik Hamid, “Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang
membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t
Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).”[6]
Dalam
pandangan Ulil, Islam Moderat dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “Al-Islam
Al-Wasat” atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasathiyyat
Al-Islam.”[7]
Jika
mereka para Liberalis memaknai “Al-Islam Al-Wasat” adalah dengan istilah
Islam Moderat, maka secara eksplisit bisa disimpulkan bahwa Islam Moderat
memiliki lawan yaitu “Islam Radikal” yang berarti “Islam yang mendukung
secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.”[8]
Istilah
ini sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum muslimin yang
memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari,
baik secara pribadi maupun secara umum.
C.
Pola Pemikiran Liberal
Paham Islam moderat tidak lepas dari
pemahaman Liberalisme, karena memang salah satu tujuan adanya pemikiran ini
adalah menghasilkan pemahaman bebas yang lebih cocok dengan tuntutan
zaman. Pemikiran Liberal di sini
memiliki beberapa kecenderungan sebagai berikut:[9]
1.
Pemikir
yang memakai pendekatan rekonstruktif, yaitu melihat tradisi dengan perspektif
pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat beragama tetap
hidup dan bisa diterima, ia harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka
modern.
2.
Penggunaan
metode dekonstruktif. Maksudnya, percaya bahwa turats tetap akan relevan
di era modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan dipahami dengan standar
modernitas.
Dalam pemikiran
ini, banyak sekali lompatan pemikiran sehingga menonjolkan sikap kritis
inovatif dan acap kali pemikir tipe ini melontarkan gebrakan-gebrakan yang
menghebohkan umat sebagaimana yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla.[10]
D.
Syari’at yang dimoderatkan
Istilah Islam moderat ini disematkan
kepada orang-orang yang kaku dalam memahami Islam, dalam artian kurang dalam
pemahaman ajaran Islam. Sehingga mudah bagi mereka untuk bisa percaya dan membenarkannya.
Kemudian hukum-hukum Islam inilah
yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasi.
Dapat dilihat dari beberapa aspek yang mereka anggap keras, kejam dan tak
berperikemanusiaan seperti:[11]
1.
Aspek
pidana Islam: seperti hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai
nishab, hukum qishash bagi pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang
murtad dan lain sebagainya yang dianggap keras.
2.
Aspek
perdata Islam: seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki
kafir, dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari
laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh atau bolehnya
poligami bagi laki-laki dan lain sebagainya.
3.
Aspek
hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang
sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.
Jika yang dimaksudkan dengan hukum yang keras dan diskriminatif
adalah seperti di atas, maka hal tersebut telah masuk pada ranah oto-kritik
terhadap syari’at Islam. sehingga banyak syari’at yang harus dimoderatkan,
dirubah secara totalitas karena sudah tidak relevan pada zaman modern.
Padahal telah jelas, al-Qur’an dan as-Sunnah diturunkan oleh Allah Ta’ala
kepada Rasul-Nya, adalah sebagai pedoman hidup bagi manusia, baik dalam urusan
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara maupun dunia. Tujuannya agar
mereka meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih hikmah di
balik semua syari’at-Nya.[12]
E. Upaya para Intelektual Muslim Moderat dalam Membonsai Syari’at
Tidak
lain dan tidak bukan, tujuan mereka adalah merubah akidah, akhlak dan pemahaman
umat Islam agar sesuai dengan pesan-pesan Barat yang telah mengajari, memberi
‘gelar kesarjanaan’ dan menaikkan pamor mereka sebagai ‘intelektual muslim
moderat’. Mereka ingin agar syari’at Islam, kaum muslimin dan juga tatanan
hidup mereka tunduk pada perubahan dan situasi kehidupan Barat. Di antara
kegiatan-kegiatan mereka adalah:[13]
a.
Kampanye
besar-besaran pluralisme agama (semua agama baik dan benar, kebenaran Islam
hanya relatif (nisbi) tidak mutlak, agama-agama lain juga benar).
b.
Kampanye
besar-besaran liberalisme agama (Fikih lintas agama, fikih ‘minoritas’,
homoseks boleh, pernikahan muslimah dengan laki-laki non-muslim boleh dan
seterusnya).
c.
Kampanye
besar-besaran sekularisme (Syari’at Islam hanya untuk bangsa Arab, kuno,
ketinggalan zaman, syari’at Islam kejam, biadab, tak berperikemanusiaan,
syari’at Islam tidak menghargai keberagaman, diskriminatif, memecah-belah
bangsa dan lain-lain).
d.
Kampanye
besar-besaran emansipasi ala Barat dan kesetaraan gender (persamaaan hak waris
antara laki-laki dan wanita, larangan poligami, persamaan hak laki-laki dan
wanita dalam ruang publik dan lain-lain).
F. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa istilah Islam moderat yang telah marak di kalangan para
intelektual muslim didikan Barat memiliki tujuan yaitu memahamkan kepada para
kaum muslimin, bahwa syari’at Islam dan tatanan hidup mereka harus maju,
berubah mengikuti zaman yang semua itu tak lepas dari dunia Barat dan juga
dalam rangka memecah-belah persatuan kaum muslimin.
Padahal agama Islam dengan
syari’at-syari’atnya yang sempurna dan sarat dengan hikmah telah menuntun
umatnya kepada kedamaian, kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, maka tidak
selayaknya bagi seorang hamba menggunakan akal pikirannya yang lemah untuk
menegosiasi hukum-hukum yang sudah ditetapkan Allah Ta’ala kepada
manusia, karena apa yang telah menjadi ketetapan hukum dari Allah bukan lah hal
yang perlu dilogikan lagi, mengingat logika manusia sebagai makhluk itu jelas
sangat terbatas.
REFERENSI
Al-Qur’anul Karim, Bandung: PT Syamil Cipta Media.
Abu Ammar dan Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim, jilid:
2, cet pertama, Cemani Solo: Cordova Mediatama, Mei 2010
Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, cet. ke-7,
Jakarta Timur: Hujjah Press, Juni 2010
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi (Al-Kamil)
Riyadi, Ahmad Ali, Dekonstruksi Tradisi, cet-1, Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, Januari 2007
http://www.arrahmah.com/read/2013/01/02/25848-meninjau-kembali-istilah-islam-moderat.html,
diakses 1 Februari 2015
[1] Kamus Besar
Bahasa Indonesia versi (Al-Kamil)
[2] Abu Ammar dan
Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim, jilid: 2, cet-1, Cemani Solo:
Cordova Mediatama, Mei 2010. Hal. 289-290.
[3] Ibid.
[4] Seorang
pendiri dan koordinator Jaringan Islam Liberal, lahir di Pati, Jawa Tengah pada
tanggal 11 Januari 1967. Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam
liberal itu, Ulil disebut sebagai pewaris pembaru pemikiran Islam melebihi
Nurcholis Madjid.
[5] Kamus Besar
Bahasa Indonesia versi (Al-Kamil)
[6] http://www.arrahmah.com/read/2013/01/02/25848-meninjau-kembali-istilah-islam-moderat.html,
diakses 1 Februari 2015
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ahmad Ali
Riyadi, Dekonstruksi Tradisi, cet-1, Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
Januari 2007, hal. 169.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]
Abu Ammar dan
Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim, jilid: 2, cet-1, Cemani Solo:
Cordova Mediatama, Mei 2010. Hal. 272.
[13] Ibid.
Hal. 290
0 comments:
Post a Comment