Ketika
Poligami Menjadi Solusi
A. Pendahuluan
Poligami
merupakan nizham (peraturan/ syari’at) di dalam Islam yang sejak dahulu
dijadikan sasaran bulan-bulanan oleh kaum orientalis dan kuffar untuk
menghantam dan mencela agama Islam dan Rasulullah r.
Bahkan sejak zaman Rasulullah r,
kaum kafir Yahudi sudah mulai menghembuskan celaan-celaan dan hujatan-hujatan
kepada Nabi dan syari’at poligami ini. Diriwayatkan oleh ‘Umar Maula (mantan
budak) Ghufroh, dia berkata:
قالت
اليهود لما رأت الرسول يتزوج
النساء: أنظروا إلى هذا الذي لا يشبع من الطعام، ولا والله ماله همة إلا النساء
“Orang
Yahudi berkata ketika melihat Rasulullah menikahi wanita: Lihatlah oprang yang
tidak pernah kenyang dari makan ini, dan demi Allah, ia tidaklah punya hasrat
melainkan kepada wanita.”[1]
Ketika mereka (para kaum Yahudi) melihat hal yang seperti
ini, maka kesempatan bagi mereka untuk menjadikannya sebuah sarana untuk
menjatuhkan dan merendahkan Rasulullah r begitu dengan agama yang beliau bawa. Padahal dibalik
syari’at yang Allah Ta’ala turunkan sarat dengan hikmah dan mashlahah.
Tidak ada sebuah syari’at yang diadakan tanpa adanya
tujuan dan hikmah. Tentunya di sana ada beragam hikmah yang mengalir sesuai
fitrahnya. Dalam menjalankan poligami, Islam menetapkan berbagai macam
peraturan dan syarat, supaya tujuan poligami tidak tersalah gunakan.
B. Pengertian Poligami
1. Menurut Bahasa
Kata
”poligami” berasal dari bahasa Yunani, polus yang artinya banyak dan gamein,
yang artinya kawin. Jadi poligami artinya kawin banyak atau suami beristri
banyak pada saat yang sama. Dalam bahasa Indonesia disebut permaduan.[2]
2. Menurut Istilah
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata poligami masih umum yaitu sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam
waktu yang bersamaan. Adapun konsep perkawinan yang membolehkan seorang
laki-laki memiliki beberapa wanita sebagai istrinya itu disebut poligini.
Namun apabila seorang perempuan bersuami lebih dari seorang, maka disebut poliandri.[3]
3. Menurut Syar’i
Dalam
ajaran Islam poligami hanya berlaku bagi laki-laki untuk memiliki istri lebih
dari satu dan tidak lebih dari empat, dalam bahasa arab lebih dikenal dengan
istilah ”ta’addud az-zaujât”.[4] Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan
jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat…” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)
C. Poligami ada Sebelum Risalah Islam
Poligami
bukan merupakan praktek yang dikenal oleh Islam pertama kali. Namun poligami
merupakan praktek yang telah berlangsung sejak zaman dahulu, setua dengan
tuanya peradaban manusia. Hamdi Syafiq mengatakan:
”It is
not Islam that has ushered in polygamy. As historically confirmed, polygamy has
been known since ancient times ‑ a phenomenon as old as mankind itself With
polygamy having been a commonplace practice since Paranoiac times.
“Islam bukanlah yang pertama kali
memperkenalkan poligami. Secara historis ditetapkan bahwa poligami telah
dikenal semenjak masa lalu, sebuah fenomena yang usianya setua manusia itu
sendiri dimana poligami telah menjadi sebuah praktek yang lazim semenjak masa
Paranoiak.”[5]
Hamdi Syafiq juga melaporkan
bahwa, Ramses II, Raja Fir’aun yang terkenal (berkuasa 1292-1225 SM) memiliki 8
orang istri dan memiliki banyak selir dan budak wanita yang memberikannya 150
putra dan putri. Dinding biara pemujaan merupakan bukti sejarah terkuat, dimana
tercantum nama-nama istri, selir dan anak-anak dari tiap wanita tersebut. Ratu
cantik Naferteri merupakan istri termasyhur Ramses II, yang terkenal berikutnya
adalah Ratu Asiyanefer atau Isisnefer yang melahirkan putranya, Raja
Marenbatah, yang naik tahta setelah ayah dan kakaknya meninggal.[6]
Praktek poligami juga telah
dilakukan oleh para Nabi terdahulu seperti, Nabi Dawud, Sulaiman, Ya’qub, Musa
dan Ibrahim. Hal ini membuktikan bahwa poligami telah ada sejak zaman sebelum
Islam datang dan merupakan sunnah Nabi terdahulu.
D. Poligami dalam Perspektif Islam
1. Dasar Hukum Poligami dalam Islam
Dalam
Islam tidak melarang poligami juga tidak mewajibkannya dan membiarkan perkara
tersebut dalam koridor mubah (boleh) karena jika melarang atau
mewajibkannya malah menimbulkan madharat, yang mana syari’at diturunkan
untuk menghilangkan madharat tersebut.[7] Telah
kita ketahui bersama bahwa praktek poligami sebelum Islam datang tanpa ada
peraturan dan dilakukan seenaknya saja. Namun begitu Islam datang, syari’at
poligami diatur sedemikian rupa.
Sebagaimana dari Ibnu ‘Umar, bahwa
Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi ketika masuk Islam beliau memiliki sepuluh
orang istri dan semuanya masuk Islam. kemudian Nabi memerintahkannya untuk
memilih empat dari mereka.” (HR. At-Tirmidzi) [8]Allah Ta’ala
berfirman,
“Dan jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,
atau empat…” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)
Namun ketika seseorang tidak mampu untuk
melakukan poligami dan takut akan berbuat zhalim, maka satu istri cukup
baginya. Karena Islam memerintahkan untuk berbuat adil. Allah Ta’ala berfirman,“…
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)
2. Sebab-sebab dibolehkannya Poligami
Islam tidak mengharamkan, mewajibkan juga tidak mensunnahkan poligami,
namun perkara ini tercantum dalam al-Qur’an dan dibiarkan dalam koridor mubah
(boleh). Dalam syari’at Islam poligami didorong oleh beberapa faktor diantaranya:[9]
1.
Ingin mendapat keturunan.
2.
Istri tidak berfungsi sebagai
istri.
3.
Suami yang hiperseksual sehingga
membutuhkan penyaluran yang lebih dari seorang istri.
4.
Meraih pahala dan menjaga kesucian
diri.
5.
Jumlah wanita yang melebihi laki-laki.
3. Syarat Poligami yang Harus dipenuhi
Seseorang yang ingin melakukan poligami tidak
lepas dari berbagai macam syarat yang harus dipenuhi, diantaranya adalah[10]:
1.
Tidak boleh lebih dari empat istri. Sebagaimana
dalil yang telah disebutkan di atas.
2.
Tidak boleh menikahi wanita yang menjadi
mahramnya. Allah Ta’ala berfirman,”Diharamkan atas kamu (menikahi)
ibu-ibumu, anak-anakmu….” (QS. An-Nisa’ [4]: 23) hingga akhir ayat.
3.
Tidak boleh menikahi wanita bersamaan dengan
menikahi saudaranya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah,”Janganlah
menikahi wanita dan juga bibinya atau bibinya[11].” (HR.
At-Tirmidzi)[12]
4.
Bersikap adil diantara para istri. Sebagaimana
dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi bersabda,
”Barang
siapa punya dua orang istri lalu memberatkan salah satunya, maka ia akan datang
pada hari kiamat nanti dengan bahunya yang miring.” (HR.
Abu Dawud)[13]
Maksud
bersikap adil di sini adalah dalam hal-hal yang zhahir seperti, tempat tinggal,
pakaian, pangan dan giliran bermalam. Dan untuk adil dalam masalah hati, maka
seorang hamba tidak bisa menguasainya. Inilah yang dimaksud dalam firman-Nya,
”Dan
kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung…” (QS. An-Nisa’ [4]: 129)
Adil
dalam menunaikan haq-haqnya harus secara merata. Untuk masalah hati atau
kecondongan pada salah satu, tidak boleh terlalu ditampakkan.
5. Memiliki
kesanggupan untuk memberi nafkah kepada mereka.[14] Allah
Ta’ala berfirman,”Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian dirinya, sehingga Allah membuat mereka mampu dengan karunia-Nya.”
(QS. An-Nur [24]: 33)
E. Poligami dipandang Sebelah Mata
Sering para penghujat syari’at
menghina dan bahkan mengharamkan poligami dengan berbagai argumentasi.
Disamping mereka tidak mengetahui bahwa Islam merupakan agama fitrah yang
datang untuk memenuhi fitrah manusia dan mengatur poligami yang telah ada sejak
dahulu.
Sebagian mereka ada yang
menyebutkan bahwa poligami itu sama dengan selingkuh, karena poligami tidak
akan terwujud jika tidak diawali dengan perselingkuhan. Ini artinya sama dengan
menyatakan bahwa Allah memperbolehkan perselingkuhan, karena Allah membolehkan
poligami. Jelas ini adalah pendapat yang bodoh, yang berangkat dari ketidakfahaman
akan syari’at Islam. Padahal seringkali poligami itu menjadi solusi dan benteng
dari terjadinya perzinahan, perselingkuhan ataupun keburukan yang lain, dan
bisa jadi poligami itu menjadi penolong bagi para wanita dan janda yang
memerlukan pelindung atasnya dan anak-anaknya.[15]
a.
Rata-rata jangka hidup kaum wanita lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Diantara buktinya adalah banyak kaum laki-laki yang
terbunuh di medan perang, sehingga jumlah janda meningkat. Laki-laki juga lebih
banyak mengalami kecelakaan baik di jalan raya maupun pekerjaannya yang sangat
beresiko.
b. Populasi wanita di dunia lebih banyak dibanding
laki-laki.
c. Berdasarkan
kodrat kejiwaan serta fisik, kecenderungan seks laki-laki lebih besar sehingga
tidak cukup dengan seorang istri saja.[17]
Mungkin
akan muncul pertanyaan, lalu mengapa jika wanita lebih banyak dari laki-laki?
Apakah ini menjadi alasan legal dibolehkannya poligami? Benar, ini sebagian
alasan bahwa poligami dapat diterapkan. Mengapa? Karena apabila jumlah wanita
lebih banyak dari laki-laki, sedangkan Allah menciptakan makhluknya
berpasang-pasangan dan mensyari’atkan untuk menikah dan hidup di bawah ikatan
yang legal dan terhormat.[18]
Namun jika tidak, lantas siapakah
yang akan menikahi mereka? Apakah mereka lebih memilih hidup melajang atau
lesbi seks yang menjijikkan? Ataukah menjadi properti publik (barang dagangan
umum)? Ini tentunya lebih hina daripada menjadi istri sah seorang laki-laki
yang telah menikah.
Kaum
liberalis feminis, mereka membela kejahatan dan menolak syari’at poligami juga
mencerca bahwa poligami itu merendahkan wanita dan menjadikan wanita sebagai
makhluk inferior, padahal mereka
sendiri lebih merendahkan wanita, dengan mengajak kaum wanita untuk menafikan
akal sehatnya, menolak fitrah dan tabiatnya, melepaskan keimanannya dan menarik
mereka masuk ke dalam lubang kehinaan. Ironinya, wanita-wanita itu tidak malu,
mereka lebih senang menjadi properti umum daripada dipoligami oleh seorang
laki-laki.[19]
F. Kesimpulan
Ketika poligami menjadi sebuah
solusi dari permasalahan yang ada, maka harus diperhatikan betul
syarat-syaratnya, begitu juga dengan hak dan kewajibannya harus terpenuhi tanpa
ada pihak yang terzhalimi. Supaya tujuan diadakannya sebuah syari’at tetap
terjaga dengan baik. Adapun tujuan syari’at adalah menyangkut kepentingan umum
bukan kepentingan pihak tertentu. Kepentingan itu mengacu pada
pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara: agama, jiwa, harta, akal dan
keturunan. Dan jika lima hal itu tidak terpelihara, maka tidak akan tercapai
kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim, Bandung: PT Syamil Cipta
Media.
Abdullah, Boedi dan Saebani, Beni Ahmad, Perkawinan
dan Perceraian Keluarga Muslim Bandung: CV Pustaka Setia, April 2013.
Abu ‘Isa bin Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi,
jilid: 2, Beirut: Darul Fikr, 2009.
‘Azzazi,al-,
‘Adil, Abu ‘Abdirrahman bin Yusuf Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis
Sunnah, jilid: 3, Darul ‘Aqidah.
Kamal, Abu Malik bin Sayyid Salim, Fiqih
Sunnah untuk Wanita, Jakarta Timur: al-I’tisham Cahaya Umat, Maret 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1 (Al-Kamil).
Muhammad bin Ibrahim, 32 Dosa Suami yang
meresahkan Istri, Cemani: Kiswah Media, Solo 2009.
Usamah, Abu ‘Ubaidah bin Muhammad Al-Jamal, Shahih
Fiqih Wanita, Surakarta: Insan Kamil, Juli 2010 M/ Rajab 1431 H.
Utsaimin,al-, Muhammad bin Shalih, Fiqhul Mar’ah
al-Muslimah, Qahirah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M.
Zuhaili,Az-, Wahbah, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Terjemah, jilid: 9, Jakarta: Gema Insani, 2011.
[1]
Abu Salma al-Atsari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional bagi Para Penghujat
Syari’at dan Sunnah Poligami, (PDF) hal. 4
[2]
Boedi Abdullah, dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan
dan Perceraian Keluarga Muslim, (Bandung: CV Pustaka Setia, April 2013),
hal. 30
[3]
Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1 (Al-Kamil)
[4]
Abu ‘Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Azzazi, Tamamul Minnah fi
fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, jilid: 3, (Darul ‘Aqidah), hal. 122
[5]Abu
Salma al-Atsari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional bagi Para Penghujat
Syari’at dan Sunnah Poligami, (PDF) hal. 10
[6]
Ibid. hal. 10-11
[7]
Usamah, Abu ‘Ubaidah bin Muhammad al-Jamal, Shahih Fiqih Wanita, (Surakarta:
Insan Kamil, Juli 2010 M/ Rajab 1431 H), hal. 332
[8]
Abu ‘Isa bin Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, (Beirut:
Darul Fikr, 2009), hal. 368
[9]
Boedi
Abdullah, dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim,
(Bandung: CV Pustaka Setia, April 2013), hal. 31. Dan Muhammad bin Ibrahim, 32
Dosa Suami yang meresahkan Istri, (Cemani: Kiswah Media, Solo 2009), hal.
132
[10]
Abu ‘Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Azzazi, Tamamul
Minnah fi fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, jilid: 3, (Darul ‘Aqidah), hal.
123
[11]
Bibi dari jalur ayah atau bibi dari jalur ibu.
[12]
Abu ‘Isa bin Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, (Beirut:
Darul Fikr, 2009), hal. 367
[13]
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, (Qahirah:
Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M), hal. 361
[14]
Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal, Shahih Fiqih Wanita, (Surakarta:
Insan Kamil, Juli 2010 M/ Rajab 1431 H), hal. 727
[15]
Abu Salma al-Atsari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional bagi Para Penghujat
Syari’at dan Sunnah Poligami, (PDF) hal. 19
[16]
Ibid. hal. 27
[17]
Abu
Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah untuk Wanita, (Jakarta Timur:
al-I’tisham Cahaya Umat, Maret 2012), hal. 728
[18]
Abu Salma al-Atsari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional bagi Para Penghujat
Syari’at dan Sunnah Poligami, (PDF) hal. 29.
[19]
Ibid. hal. 23-24
0 comments:
Post a Comment