Pages

Subscribe

Monday, 27 April 2015

Ketika Poligami Menjadi Solusi



Ketika Poligami Menjadi Solusi

A.    Pendahuluan


Poligami merupakan nizham (peraturan/ syari’at) di dalam Islam yang sejak dahulu dijadikan sasaran bulan-bulanan oleh kaum orientalis dan kuffar untuk menghantam dan mencela agama Islam dan Rasulullah r. Bahkan sejak zaman Rasulullah r, kaum kafir Yahudi sudah mulai menghembuskan celaan-celaan dan hujatan-hujatan kepada Nabi dan syari’at poligami ini. Diriwayatkan oleh ‘Umar Maula (mantan budak) Ghufroh, dia berkata:
قالت اليهود لما رأت الرسول يتزوج النساء: أنظروا إلى هذا الذي لا يشبع من الطعام، ولا والله ماله همة إلا النساء
        “Orang Yahudi berkata ketika melihat Rasulullah menikahi wanita: Lihatlah oprang yang tidak pernah kenyang dari makan ini, dan demi Allah, ia tidaklah punya hasrat melainkan kepada wanita.”[1]
Ketika mereka (para kaum Yahudi) melihat hal yang seperti ini, maka kesempatan bagi mereka untuk menjadikannya sebuah sarana untuk menjatuhkan dan merendahkan Rasulullah r begitu dengan agama yang beliau bawa. Padahal dibalik syari’at yang Allah Ta’ala turunkan sarat dengan hikmah dan mashlahah.
Tidak ada sebuah syari’at yang diadakan tanpa adanya tujuan dan hikmah. Tentunya di sana ada beragam hikmah yang mengalir sesuai fitrahnya. Dalam menjalankan poligami, Islam menetapkan berbagai macam peraturan dan syarat, supaya tujuan poligami tidak tersalah gunakan.

B.     Pengertian Poligami

1.    Menurut Bahasa

              Kata ”poligami” berasal dari bahasa Yunani, polus yang artinya banyak dan gamein, yang artinya kawin. Jadi poligami artinya kawin banyak atau suami beristri banyak pada saat yang sama. Dalam bahasa Indonesia disebut permaduan.[2]

2.    Menurut Istilah

              Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata poligami masih umum yaitu sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Adapun konsep perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki memiliki beberapa wanita sebagai istrinya itu disebut poligini. Namun apabila seorang perempuan bersuami lebih dari seorang, maka disebut poliandri.[3]

3.    Menurut Syar’i

              Dalam ajaran Islam poligami hanya berlaku bagi laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu dan tidak lebih dari empat, dalam bahasa arab lebih dikenal dengan istilah ”ta’addud az-zaujât”.[4] Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
              “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)

C.    Poligami ada Sebelum Risalah Islam

              Poligami bukan merupakan praktek yang dikenal oleh Islam pertama kali. Namun poligami merupakan praktek yang telah berlangsung sejak zaman dahulu, setua dengan tuanya peradaban manusia. Hamdi Syafiq mengatakan:
              It is not Islam that has ushered in polygamy. As historically confirmed, polygamy has been known since ancient times ‑ a phenomenon as old as mankind itself With polygamy having been a commonplace practice since Paranoiac times.
              “Islam bukanlah yang pertama kali memperkenalkan poligami. Secara historis ditetapkan bahwa poligami telah dikenal semenjak masa lalu, sebuah fenomena yang usianya setua manusia itu sendiri dimana poligami telah menjadi sebuah praktek yang lazim semenjak masa Paranoiak.”[5]
              Hamdi Syafiq juga melaporkan bahwa, Ramses II, Raja Fir’aun yang terkenal (berkuasa 1292-1225 SM) memiliki 8 orang istri dan memiliki banyak selir dan budak wanita yang memberikannya 150 putra dan putri. Dinding biara pemujaan merupakan bukti sejarah terkuat, dimana tercantum nama-nama istri, selir dan anak-anak dari tiap wanita tersebut. Ratu cantik Naferteri merupakan istri termasyhur Ramses II, yang terkenal berikutnya adalah Ratu Asiyanefer atau Isisnefer yang melahirkan putranya, Raja Marenbatah, yang naik tahta setelah ayah dan kakaknya meninggal.[6]
              Praktek poligami juga telah dilakukan oleh para Nabi terdahulu seperti, Nabi Dawud, Sulaiman, Ya’qub, Musa dan Ibrahim. Hal ini membuktikan bahwa poligami telah ada sejak zaman sebelum Islam datang dan merupakan sunnah Nabi terdahulu.

D.    Poligami dalam Perspektif Islam

1.     Dasar Hukum Poligami dalam Islam

           Dalam Islam tidak melarang poligami juga tidak mewajibkannya dan membiarkan perkara tersebut dalam koridor mubah (boleh) karena jika melarang atau mewajibkannya malah menimbulkan madharat, yang mana syari’at diturunkan untuk menghilangkan madharat tersebut.[7] Telah kita ketahui bersama bahwa praktek poligami sebelum Islam datang tanpa ada peraturan dan dilakukan seenaknya saja. Namun begitu Islam datang, syari’at poligami diatur sedemikian rupa.
              Sebagaimana dari Ibnu ‘Umar, bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi ketika masuk Islam beliau memiliki sepuluh orang istri dan semuanya masuk Islam. kemudian Nabi memerintahkannya untuk memilih empat dari mereka.” (HR. At-Tirmidzi) [8]Allah Ta’ala berfirman,
              “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat…” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)
              Namun ketika seseorang tidak mampu untuk melakukan poligami dan takut akan berbuat zhalim, maka satu istri cukup baginya. Karena Islam memerintahkan untuk berbuat adil. Allah Ta’ala berfirman,“… Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)

2.     Sebab-sebab dibolehkannya Poligami

Islam tidak mengharamkan, mewajibkan juga tidak mensunnahkan poligami, namun perkara ini tercantum dalam al-Qur’an dan dibiarkan dalam koridor mubah (boleh). Dalam syari’at Islam poligami didorong oleh beberapa faktor diantaranya:[9]
1.      Ingin mendapat keturunan.
2.      Istri tidak berfungsi sebagai istri.
3.      Suami yang hiperseksual sehingga membutuhkan penyaluran yang lebih dari seorang istri.
4.      Meraih pahala dan menjaga kesucian diri.
5.      Jumlah wanita yang melebihi laki-laki.

3.     Syarat Poligami yang Harus dipenuhi

              Seseorang yang ingin melakukan poligami tidak lepas dari berbagai macam syarat yang harus dipenuhi, diantaranya adalah[10]:
1.      Tidak boleh lebih dari empat istri. Sebagaimana dalil yang telah disebutkan di atas.
2.      Tidak boleh menikahi wanita yang menjadi mahramnya. Allah Ta’ala berfirman,”Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu….” (QS. An-Nisa’ [4]: 23) hingga akhir ayat.
3.      Tidak boleh menikahi wanita bersamaan dengan menikahi saudaranya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah,”Janganlah menikahi wanita dan juga bibinya atau bibinya[11].” (HR. At-Tirmidzi)[12]
4.      Bersikap adil diantara para istri. Sebagaimana dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi bersabda,
”Barang siapa punya dua orang istri lalu memberatkan salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dengan bahunya yang miring.” (HR. Abu Dawud)[13]
Maksud bersikap adil di sini adalah dalam hal-hal yang zhahir seperti, tempat tinggal, pakaian, pangan dan giliran bermalam. Dan untuk adil dalam masalah hati, maka seorang hamba tidak bisa menguasainya. Inilah yang dimaksud dalam firman-Nya,
”Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu,  walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…” (QS. An-Nisa’ [4]: 129)
Adil dalam menunaikan haq-haqnya harus secara merata. Untuk masalah hati atau kecondongan pada salah satu, tidak boleh terlalu ditampakkan.
5.      Memiliki kesanggupan untuk memberi nafkah kepada mereka.[14] Allah Ta’ala berfirman,”Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah membuat mereka mampu dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur [24]: 33)

E.      Poligami dipandang Sebelah Mata

              Sering para penghujat syari’at menghina dan bahkan mengharamkan poligami dengan berbagai argumentasi. Disamping mereka tidak mengetahui bahwa Islam merupakan agama fitrah yang datang untuk memenuhi fitrah manusia dan mengatur poligami yang telah ada sejak dahulu.
              Sebagian mereka ada yang menyebutkan bahwa poligami itu sama dengan selingkuh, karena poligami tidak akan terwujud jika tidak diawali dengan perselingkuhan. Ini artinya sama dengan menyatakan bahwa Allah memperbolehkan perselingkuhan, karena Allah membolehkan poligami. Jelas ini adalah pendapat yang bodoh, yang berangkat dari ketidakfahaman akan syari’at Islam. Padahal seringkali poligami itu menjadi solusi dan benteng dari terjadinya perzinahan, perselingkuhan ataupun keburukan yang lain, dan bisa jadi poligami itu menjadi penolong bagi para wanita dan janda yang memerlukan pelindung atasnya dan anak-anaknya.[15]
              Diantara sebab mengapa poligami menjadi sebuah solusi adalah[16]:
a.       Rata-rata jangka hidup kaum wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Diantara buktinya adalah banyak kaum laki-laki yang terbunuh di medan perang, sehingga jumlah janda meningkat. Laki-laki juga lebih banyak mengalami kecelakaan baik di jalan raya maupun pekerjaannya yang sangat beresiko.
b.      Populasi wanita di dunia lebih banyak dibanding laki-laki.
c.       Berdasarkan kodrat kejiwaan serta fisik, kecenderungan seks laki-laki lebih besar sehingga tidak cukup dengan seorang istri saja.[17]
            Mungkin akan muncul pertanyaan, lalu mengapa jika wanita lebih banyak dari laki-laki? Apakah ini menjadi alasan legal dibolehkannya poligami? Benar, ini sebagian alasan bahwa poligami dapat diterapkan. Mengapa? Karena apabila jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki, sedangkan Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan dan mensyari’atkan untuk menikah dan hidup di bawah ikatan yang legal dan terhormat.[18]
            Namun jika tidak, lantas siapakah yang akan menikahi mereka? Apakah mereka lebih memilih hidup melajang atau lesbi seks yang menjijikkan? Ataukah menjadi properti publik (barang dagangan umum)? Ini tentunya lebih hina daripada menjadi istri sah seorang laki-laki yang telah menikah.
            Kaum liberalis feminis, mereka membela kejahatan dan menolak syari’at poligami juga mencerca bahwa poligami itu merendahkan wanita dan menjadikan wanita sebagai makhluk inferior, padahal  mereka sendiri lebih merendahkan wanita, dengan mengajak kaum wanita untuk menafikan akal sehatnya, menolak fitrah dan tabiatnya, melepaskan keimanannya dan menarik mereka masuk ke dalam lubang kehinaan. Ironinya, wanita-wanita itu tidak malu, mereka lebih senang menjadi properti umum daripada dipoligami oleh seorang laki-laki.[19]

F.      Kesimpulan

Ketika poligami menjadi sebuah solusi dari permasalahan yang ada, maka harus diperhatikan betul syarat-syaratnya, begitu juga dengan hak dan kewajibannya harus terpenuhi tanpa ada pihak yang terzhalimi. Supaya tujuan diadakannya sebuah syari’at tetap terjaga dengan baik. Adapun tujuan syari’at adalah menyangkut kepentingan umum bukan kepentingan pihak tertentu. Kepentingan itu mengacu pada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara: agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Dan jika lima hal itu tidak terpelihara, maka tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim, Bandung: PT Syamil Cipta Media.
Abdullah, Boedi dan Saebani, Beni Ahmad, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim Bandung: CV Pustaka Setia, April 2013.
Abu ‘Isa bin Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, Beirut: Darul Fikr, 2009.
‘Azzazi,al-, ‘Adil, Abu ‘Abdirrahman bin Yusuf Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, jilid: 3, Darul ‘Aqidah.
Kamal, Abu Malik bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah untuk Wanita, Jakarta Timur: al-I’tisham Cahaya Umat, Maret 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1 (Al-Kamil).
Muhammad bin Ibrahim, 32 Dosa Suami yang meresahkan Istri, Cemani: Kiswah Media, Solo 2009.
Usamah, Abu ‘Ubaidah bin Muhammad Al-Jamal, Shahih Fiqih Wanita, Surakarta: Insan Kamil, Juli 2010 M/ Rajab 1431 H.
Utsaimin,al-, Muhammad bin Shalih, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Qahirah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M.
Zuhaili,Az-, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Terjemah, jilid: 9, Jakarta: Gema Insani, 2011.




[1] Abu Salma al-Atsari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional bagi Para Penghujat Syari’at dan Sunnah Poligami, (PDF) hal. 4
[2] Boedi Abdullah, dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim, (Bandung: CV Pustaka Setia, April 2013), hal. 30
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia V1.1 (Al-Kamil)
[4] Abu ‘Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Azzazi, Tamamul Minnah fi fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, jilid: 3, (Darul ‘Aqidah), hal. 122
[5]Abu Salma al-Atsari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional bagi Para Penghujat Syari’at dan Sunnah Poligami, (PDF) hal. 10
[6] Ibid. hal. 10-11
[7] Usamah, Abu ‘Ubaidah bin Muhammad al-Jamal, Shahih Fiqih Wanita, (Surakarta: Insan Kamil, Juli 2010 M/ Rajab 1431 H), hal. 332
[8] Abu ‘Isa bin Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, (Beirut: Darul Fikr, 2009), hal. 368
[9] Boedi Abdullah, dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim, (Bandung: CV Pustaka Setia, April 2013), hal. 31. Dan Muhammad bin Ibrahim, 32 Dosa Suami yang meresahkan Istri, (Cemani: Kiswah Media, Solo 2009), hal. 132
[10] Abu ‘Abdirrahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Azzazi, Tamamul Minnah fi fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, jilid: 3, (Darul ‘Aqidah), hal. 123
[11] Bibi dari jalur ayah atau bibi dari jalur ibu.
[12] Abu ‘Isa bin Muhammad bin ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, (Beirut: Darul Fikr, 2009), hal. 367
[13] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, (Qahirah: Darul ‘Aqidah, 1428 H/ 2007 M), hal. 361
[14] Abu ‘Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal, Shahih Fiqih Wanita, (Surakarta: Insan Kamil, Juli 2010 M/ Rajab 1431 H),  hal. 727
[15] Abu Salma al-Atsari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional bagi Para Penghujat Syari’at dan Sunnah Poligami, (PDF) hal. 19
[16] Ibid. hal. 27
[17] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah untuk Wanita, (Jakarta Timur: al-I’tisham Cahaya Umat, Maret 2012), hal. 728
[18] Abu Salma al-Atsari, Poligami Dihujat Jawaban Rasional bagi Para Penghujat Syari’at dan Sunnah Poligami, (PDF) hal. 29.
[19] Ibid. hal. 23-24                                                         

0 comments:

Post a Comment