Ujung pangkal tulisan ini adalah membahas ilmu yang berkaitan
dengan Maqashid Syari’ah al-Islamiyah. Ilmu ini tidak lahir secara instan,
melainkan melalui tahapan dan mengalami perkembangan masa ke masa sampai pada
masa pembukuan seperti sekarang ini.
Sejarahnya dapat dilihat dari nash-nash syar’i baik al-Qur’an,
as-Sunnah, perkataan sahabat dan kitab para ulama’. Bisa diibaratkan bahwa nafas
Maqashid ada dalam nash-nash syar’i tersebut seperti peribahasa ‘bagai pinang
dibelah dua’. Kalau bisa dikelompokkan ada 3 fase yang dialami oleh ilmu
Maqashid Syari’ah ini hingga bisa kita pelajari sekarang ini, yaitu:
1.
Fase
perkembangan
2.
Fase
pemisahan pertama (para ulama’ mulai menulis sebuah permasalahan dari sudut
pandang Maqashid)
3.
Fase
pemisahan kedua (pembukuan ilmu Maqashid)
Dari
masa khulafa’ ar-rasyidin sampai pada ulama’ kontemporer, tiga fase dia atas
terlalui. Para ulama’ telah menuliskannya sesuai dengan pemahaman yang benar dan
sesuai dengan pemahaman salaf, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan
kemudian pada abad ke-9, Imam asy-Syathibi mengeluarkan karyanya ‘al-Muwafaqat
fi Ushul asy-Syari’ah’ serta ulama’ yang lain. Pembahasannya tidak keluar
dari esensi sebuah syari’at yang diformulasikan dan ditetapkan dalam rangka
meluhurkan hamba-Nya dan supaya syari’at akan tetap ada sampai akhir zaman.
Bagi
musuh Islam yang selamanya mereka tidak akan ridha jika Islam itu jaya, maka
lewat ilmu Maqashid inilah yang bisa menjembatani mereka untuk mendeskrontuksi
seluruh tatanan hukum Islam. Melalui pemikiran-pemikiran mereka yang liberal
dan sengaja untuk menyelewengkan tujuan diadakannya syari’at, maka mereka
banyak mengeluarkan fatwa yang menabrak batas-batas syar’i karena mereka beralasan
bahwa ‘dimana saja ada mashlahah, maka di situlah ada syari’ah’. Berbeda dengan
pandangan para ulama’ yaitu ‘dimana ada hukum syara’, maka di sana pasti ada
mashlahah’.
Bahkan
mereka beranggapan bahwa jika kebaikan, kesejahteraan, kebahagiaan sudah
terealisasi tanpa agama, maka tidak perlu beragama. Di antara para tokoh yang
berperan dalam mendeskrontuksi syari’ah adalah Irsyad Manji, Prof. Dr. Hj.
Musdah Mulia, Nong Darul Mahmuda, Tedi Kholiluddin, Sumanto al-Qurthubi, Djohan
Effendi, Ulil Abshar Abdalla, Kamelia Manaf dan lain-lain.
Salah satu contoh pemikiran mereka yang
berawal dari sebuah maqashid dalam pandangan mereka adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh Ulil Abshar Abdalla, “jilbab (pada) intinya adalah
mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency).”
Juga
yang dikatakan oleh Musdah Mulia ketika menafsirkan bunyi awal surat An-Nisa’:
34 bahwa , “kata ar-rijal itu dimaknai dari segi sifatnya. Siapa yang
kuat dari laki-laki dan perempuan, maka itulah yang disebut ar-rijal.”
Kajian Syar’i
Definisi
Secara bahasa:
§ مقاصد jama’ dari مقصد dari bentuk fi’il قصد- يقصد yang mempunyai banyak makna yaitu: al-I’timadu, istiqamatut
thariq, al-‘adlu wa tawasuth wa ‘adamu ifrath wa tafrith, al-kasru fi ayyi
wajhin kana.
§ الشريعة mempunyai banyak makna yaitu: ad-din,
al-millah, al-manhaj, ath-thariqah dan as-sunnah.
§ الإسلام maknanya: al-inqiyadu lahu bith tha’ah.
Secara
istilah:
Banyak ulama’ yang memberikan makna tentang ilmu Maqashid Syari’ah
ini, seperti Ibnu ‘Asyur, ‘Ilal al-Fasi, Ar-Raisuni, az-Zuhaili, kesemuanya
berbeda dalam kata, namun masih dalam satu makna. Makna yang dipilih untuk
mewakili semuanya adalah “Ilah, hikmah-hikmah dan lainnya (kembali ke
pengertian para ulama’ di atas) yang diformulasikan Allah Ta’ala dalam
pensyari’atan baik bersifat umum maupun khusus dalam rangka mendatangkan/
melahirkan kemashlahatan hamba (manusia).”
Tujuan
Banyak dalil nash
yang menyebutkan bahwa Islam itu tidak mempersulit pemeluknya. Salah satunya
seperti ayat al-Qur’an yang berbunyi,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكمُ الْيُسْرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكمُ الْعُسْرَ
“Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesusahan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Semua syari’at yang Allah tetapkan tidak akan lepas dari hikmah
dan sesuai dengan kemashlahatan manusia. Sedangkan kemashlahatan itu diukur
dari lima macam yaitu dalam menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
Contoh yang memberi mashlahat bagi
agama adalah tindakan sahabat Utsman bin Affan dalam mengkodifikasi ayat-ayat
al-Qur’an yang kemudian lahirlah Qur’an Utsmani. Sebenarnya hal ini melanggar
perintah Rasulullah supaya tidak menuliskan ayat al-Qur’an karena ditakutkan
akan tercampur dengan hadits, namun dibalik upaya beliau banyak mashlahah yang
bisa diambil karena pada masanya banyak para penghafal al-Qur’an yang
berguguran di medan perang dan juga usia yang semakin bertambah tua.
Gagasan Maqashid Syari’ah
Mungkin ada pertanyaan, kenapa harus
ada gagasan/ teori tentang syari’at? Apa yang dimaksud dengan makna plural,
bukankah syari’at itu sudah pasti?
Memang, sebenarnya syari’at itu sudah final, namun karena
kontens syari’at yang luas, maka para ulama’ menemukan gagasan yang lebih
meluas. Dan para pionir yang menggeluti bidang ini sangat sedikit sekali.
Gagasan tentang Maqashid Syari’ah itu bersifat kuat, pakem,
konstan yang berarti tidak relatif, tidak perlu diijtihadkan dan sudah pasti.
Perlu diketahui, meskipun syari’at tidak perlu diijtihadkan, syari’at itu sudah
memberi kemudahan dan solusi, oleh karena itu jangan mempersulitnya.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, “aku diutus untuk mempermudah, dan aku
tidak diutus untuk mempersulit.”
Jika mengharuskan untuk menabrak syari’at yang pastinya
dalam kondisi sangat dharurat, maka menggunakan kaidah “Adh-dharuratu
tubihul mahdhurat” dan kaidah ini digunakan tentu memandang mashlahah yang
lebih bisa dimenangkan seperti jiwa. Sebagai contoh, seorang dokter laki-laki
(tidak ada dokter wanita yang memiliki kemampuan dalam amal itu) yang
mengoperasi wanita karena suatu penyakit dan mengharuskan si dokter untuk
melihat auratnya, maka ini boleh, karena jika tidak dioperasi jiwanya akan
terancam mati.
Dalam membahas ilmu Maqashid, tak lepasnya para ulama’ juga
membahas ‘ilah serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya kemudian
mashlahah yang bisa direalisasikan. Parameter dalam menentukan mashlahah adalah
wahyu, bukan akal karena akal manusia itu terbatas dan lemah.
Dari akal manusia inilah yang kemudian para tokoh Liberal
dan musuh Islam lainnya merubah gagasan maqashid menjadi relatif. Sebab interes
merekalah yang melahirkan maqashid menjadi relatif dan ini salah besar.
Gagasan Maqashid menurut Imam Al-Haramain
Beliau adalah Abdul Malik bin
Abdullah binYusuf Al-Juwaini, Abul ‘Ali dan terkenal dengan sebutan Imam
Al-Haramain. Beliau ini mempunyai tiga keahlian yaitu al-Faqih, al-Ushuli,
al-Mutakallim dan termasuk salah satu pionir dalam ilmu Maqashid Syari’ah, dilahirkan
pada tahun 419 H. gagasan Maqashid menurut beliau adalah:
1.
Memfokuskan pada sebagian dharuriyat al-khamsah dan
semua yang terkait dengannya itu sifatnya kulli (pakem, pasti dan tidak
ada ijtihad lagi). Misal, kalau dengan menikah itu dia bisa terjaga, maka itu
sifatnya dharuri.
2.
Konsen dalam membahas kaidah maqashid dan itu ada kaitannya
dengan mukammilat dan mumatsilat. Termasuk juga dalam
memprioritaskan salah satu dari dharuriyatul khamsah.
3.
Konsen membahas Maqashidul Ahkam. Misal, maqashidul
qishas yaitu hifdzun nafsi.
Imam Al-Haramain berkata:
“Barangsiapa yang tidak punya kecerdasan/ kafa’ah maqashid dalam perintah dan
larangan Allah, maka ia tidak punya kemampuan untuk berbicara tentang
syari’ah.”
Kalimat yang bergaris bawah memakai
makna komprehensif, dan tidak diartikan berfatwa, mengapa? Karena berbicaranya
saja sudah tidak boleh apalagi berfatwa. Sedangkan ukuran orang yang mempunyai
kapasitas dalam berbicara syari’ah adalah mengetahui maqashid.
Manfaat Mempelajari Maqashid Syari’ah
Ada beberapa manfaat bila kita
mempelajari Maqashid Syari’ah, antara lain:
1.
Mengungkapkan tujuan, alasan dan hikmah tasyri’ baik umum
atau khusus, integral atau parsial di segala bidang kehidupan dan dalam setiap
ajaran Islam.
2.
Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan setiap
zaman, abadi, realistis dan luwes.
3.
Membantu ulama’ dalam berijtihad dalam bingkai tujuan
syari’at.
4.
Memadukan secara seimbang prinsip “Mengambil zhahir nash”
dengan prinsip “Memperhatikan ruh dan substansi nash”
5.
Mempersempit perselisihan dan ta’ashub di antara
pengikut madzhab fiqih.
0 comments:
Post a Comment