Pages

Subscribe

Monday, 27 April 2015

Ilmu Maqashid Syari’ah al-Islamiyah



Ujung pangkal tulisan ini adalah membahas ilmu yang berkaitan dengan Maqashid Syari’ah al-Islamiyah. Ilmu ini tidak lahir secara instan, melainkan melalui tahapan dan mengalami perkembangan masa ke masa sampai pada masa pembukuan seperti sekarang ini.
Sejarahnya dapat dilihat dari nash-nash syar’i baik al-Qur’an, as-Sunnah, perkataan sahabat dan kitab para ulama’. Bisa diibaratkan bahwa nafas Maqashid ada dalam nash-nash syar’i tersebut seperti peribahasa ‘bagai pinang dibelah dua’. Kalau bisa dikelompokkan ada 3 fase yang dialami oleh ilmu Maqashid Syari’ah ini hingga bisa kita pelajari sekarang ini, yaitu:
1.      Fase perkembangan
2.      Fase pemisahan pertama (para ulama’ mulai menulis sebuah permasalahan dari sudut pandang Maqashid)
3.      Fase pemisahan kedua (pembukuan ilmu Maqashid)
Dari masa khulafa’ ar-rasyidin sampai pada ulama’ kontemporer, tiga fase dia atas terlalui. Para ulama’ telah menuliskannya sesuai dengan pemahaman yang benar dan sesuai dengan pemahaman salaf, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan kemudian pada abad ke-9, Imam asy-Syathibi mengeluarkan karyanya ‘al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah’ serta ulama’ yang lain. Pembahasannya tidak keluar dari esensi sebuah syari’at yang diformulasikan dan ditetapkan dalam rangka meluhurkan hamba-Nya dan supaya syari’at akan tetap ada sampai akhir zaman.
Bagi musuh Islam yang selamanya mereka tidak akan ridha jika Islam itu jaya, maka lewat ilmu Maqashid inilah yang bisa menjembatani mereka untuk mendeskrontuksi seluruh tatanan hukum Islam. Melalui pemikiran-pemikiran mereka yang liberal dan sengaja untuk menyelewengkan tujuan diadakannya syari’at, maka mereka banyak mengeluarkan fatwa yang menabrak batas-batas syar’i karena mereka beralasan bahwa ‘dimana saja ada mashlahah, maka di situlah ada syari’ah’. Berbeda dengan pandangan para ulama’ yaitu ‘dimana ada hukum syara’, maka di sana pasti ada mashlahah’.
Bahkan mereka beranggapan bahwa jika kebaikan, kesejahteraan, kebahagiaan sudah terealisasi tanpa agama, maka tidak perlu beragama. Di antara para tokoh yang berperan dalam mendeskrontuksi syari’ah adalah Irsyad Manji, Prof. Dr. Hj. Musdah Mulia, Nong Darul Mahmuda, Tedi Kholiluddin, Sumanto al-Qurthubi, Djohan Effendi, Ulil Abshar Abdalla, Kamelia Manaf dan lain-lain.
 Salah satu contoh pemikiran mereka yang berawal dari sebuah maqashid dalam pandangan mereka adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ulil Abshar Abdalla, “jilbab (pada) intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency).”
Juga yang dikatakan oleh Musdah Mulia ketika menafsirkan bunyi awal surat An-Nisa’: 34 bahwa , “kata ar-rijal itu dimaknai dari segi sifatnya. Siapa yang kuat dari laki-laki dan perempuan, maka itulah yang disebut ar-rijal.”
Kajian Syar’i
Definisi
Secara bahasa:
§  مقاصد jama’ dari مقصد  dari bentuk fi’il قصد- يقصد  yang mempunyai banyak makna yaitu: al-I’timadu, istiqamatut thariq, al-‘adlu wa tawasuth wa ‘adamu ifrath wa tafrith, al-kasru fi ayyi wajhin kana.
§  الشريعة mempunyai banyak makna yaitu: ad-din, al-millah, al-manhaj, ath-thariqah dan as-sunnah.
§  الإسلام maknanya: al-inqiyadu lahu bith tha’ah.
Secara istilah:
Banyak ulama’ yang memberikan makna tentang ilmu Maqashid Syari’ah ini, seperti Ibnu ‘Asyur, ‘Ilal al-Fasi, Ar-Raisuni, az-Zuhaili, kesemuanya berbeda dalam kata, namun masih dalam satu makna. Makna yang dipilih untuk mewakili semuanya adalah “Ilah, hikmah-hikmah dan lainnya (kembali ke pengertian para ulama’ di atas) yang diformulasikan Allah Ta’ala dalam pensyari’atan baik bersifat umum maupun khusus dalam rangka mendatangkan/ melahirkan kemashlahatan hamba (manusia).”
Tujuan
            Banyak dalil nash yang menyebutkan bahwa Islam itu tidak mempersulit pemeluknya. Salah satunya seperti ayat al-Qur’an yang berbunyi,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكمُ الْعُسْرَ

            “Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesusahan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)
            Semua syari’at yang Allah tetapkan tidak akan lepas dari hikmah dan sesuai dengan kemashlahatan manusia. Sedangkan kemashlahatan itu diukur dari lima macam yaitu dalam menjaga agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
            Contoh yang memberi mashlahat bagi agama adalah tindakan sahabat Utsman bin Affan dalam mengkodifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang kemudian lahirlah Qur’an Utsmani. Sebenarnya hal ini melanggar perintah Rasulullah supaya tidak menuliskan ayat al-Qur’an karena ditakutkan akan tercampur dengan hadits, namun dibalik upaya beliau banyak mashlahah yang bisa diambil karena pada masanya banyak para penghafal al-Qur’an yang berguguran di medan perang dan juga usia yang semakin bertambah tua.
Gagasan Maqashid Syari’ah
            Mungkin ada pertanyaan, kenapa harus ada gagasan/ teori tentang syari’at? Apa yang dimaksud dengan makna plural, bukankah syari’at itu sudah pasti?
Memang, sebenarnya syari’at itu sudah final, namun karena kontens syari’at yang luas, maka para ulama’ menemukan gagasan yang lebih meluas. Dan para pionir yang menggeluti bidang ini sangat sedikit sekali.
Gagasan tentang Maqashid Syari’ah itu bersifat kuat, pakem, konstan yang berarti tidak relatif, tidak perlu diijtihadkan dan sudah pasti. Perlu diketahui, meskipun syari’at tidak perlu diijtihadkan, syari’at itu sudah memberi kemudahan dan solusi, oleh karena itu jangan mempersulitnya. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “aku diutus untuk mempermudah, dan aku tidak diutus untuk mempersulit.”
Jika mengharuskan untuk menabrak syari’at yang pastinya dalam kondisi sangat dharurat, maka menggunakan kaidah “Adh-dharuratu tubihul mahdhurat” dan kaidah ini digunakan tentu memandang mashlahah yang lebih bisa dimenangkan seperti jiwa. Sebagai contoh, seorang dokter laki-laki (tidak ada dokter wanita yang memiliki kemampuan dalam amal itu) yang mengoperasi wanita karena suatu penyakit dan mengharuskan si dokter untuk melihat auratnya, maka ini boleh, karena jika tidak dioperasi jiwanya akan terancam mati.
Dalam membahas ilmu Maqashid, tak lepasnya para ulama’ juga membahas ‘ilah serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya kemudian mashlahah yang bisa direalisasikan. Parameter dalam menentukan mashlahah adalah wahyu, bukan akal karena akal manusia itu terbatas dan lemah.
Dari akal manusia inilah yang kemudian para tokoh Liberal dan musuh Islam lainnya merubah gagasan maqashid menjadi relatif. Sebab interes merekalah yang melahirkan maqashid menjadi relatif dan ini salah besar.
Gagasan Maqashid menurut Imam Al-Haramain
            Beliau adalah Abdul Malik bin Abdullah binYusuf Al-Juwaini, Abul ‘Ali dan terkenal dengan sebutan Imam Al-Haramain. Beliau ini mempunyai tiga keahlian yaitu al-Faqih, al-Ushuli, al-Mutakallim dan termasuk salah satu pionir dalam ilmu Maqashid Syari’ah, dilahirkan pada tahun 419 H. gagasan Maqashid menurut beliau adalah:
1.      Memfokuskan pada sebagian dharuriyat al-khamsah dan semua yang terkait dengannya itu sifatnya kulli (pakem, pasti dan tidak ada ijtihad lagi). Misal, kalau dengan menikah itu dia bisa terjaga, maka itu sifatnya dharuri.
2.      Konsen dalam membahas kaidah maqashid dan itu ada kaitannya dengan mukammilat dan mumatsilat. Termasuk juga dalam memprioritaskan salah satu dari dharuriyatul khamsah.
3.      Konsen membahas Maqashidul Ahkam. Misal, maqashidul qishas yaitu hifdzun nafsi.
Imam Al-Haramain berkata: “Barangsiapa yang tidak punya kecerdasan/ kafa’ah maqashid dalam perintah dan larangan Allah, maka ia tidak punya kemampuan untuk berbicara tentang syari’ah.”
Kalimat yang bergaris bawah memakai makna komprehensif, dan tidak diartikan berfatwa, mengapa? Karena berbicaranya saja sudah tidak boleh apalagi berfatwa. Sedangkan ukuran orang yang mempunyai kapasitas dalam berbicara syari’ah adalah mengetahui maqashid.
Manfaat Mempelajari Maqashid Syari’ah
            Ada beberapa manfaat bila kita mempelajari Maqashid Syari’ah, antara lain:
1.      Mengungkapkan tujuan, alasan dan hikmah tasyri’ baik umum atau khusus, integral atau parsial di segala bidang kehidupan dan dalam setiap ajaran Islam.
2.      Menegaskan karakteristik Islam yang sesuai dengan setiap zaman, abadi, realistis dan luwes.
3.      Membantu ulama’ dalam berijtihad dalam bingkai tujuan syari’at.
4.      Memadukan secara seimbang prinsip “Mengambil zhahir nash” dengan prinsip “Memperhatikan ruh dan substansi nash”
5.      Mempersempit perselisihan dan ta’ashub di antara pengikut madzhab fiqih.

0 comments:

Post a Comment