Pages

Subscribe

Monday, 27 April 2015

Ziarah Kuburan yang Disalahgunakan




A.    Pendahuluan

              Dewasa ini, manusia semakin tenggelam ke dalam fatamorgana dunia. Banyak orang di sekitar kita  yang mengidap penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati), padahal mengingat kematian merupakan kebutuhan seorang hamba agar senantiasa menyiapkan bekal dengan amal shalih yang bisa membawanya kepada kematian husnul khatimah, Allah Ta’ala berfirman,
              “Dan tiada seorang jiwa pun yang mengetahui di belahan bumi manakah ia akan mati.”(QS. Luqman: 34).
              Rasulullah r menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa mengingat kematian, salah satu caranya adalah dengan menziarahi kuburan. Namun, melihat fenomena di akhir zaman ini, kuburan semakin disalahgunakan dan juga banyak ritual bid’ah yang dikerjakan. Bahkan sebagian orang mendatangi kuburan tidak bertujuan untuk mengingat kematian. Jelas, ini keluar dari tujuan diadakannya syari’at untuk menziarahi kuburan. Sebab itu, penulis di sini berusaha memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan kuburan dari hal-hal yang diperbolehkan sampai yang dilarang dilakukan di dalamnya.

B.     Pengertian Ziarah

Menurut bahasa: Ziarah berasal dari bahasa arab زار- يزور- زيارة yang artinya mengunjungi.[1] Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ziarah berarti mengunjungi ke tempat pemakaman.
Menurut istilah syar’i: menziarahi kuburan dengan mengambil ibrah dan nasehat juga untuk mengingatkan kita pada kematian.[2]

C.    Mengingat Kematian dengan Menziarahi Kuburan

Menziarahi kuburan pada awalnya dilarang oleh Rasulullah r baik bagi laki-laki maupun wanita, karena untuk menghindari kesyirikan yang akan terjadi, kemudian setelah Islam semakin meluas Rasulullah r membolehkannya, karena hal itu akan mengingatkan seseorang pada kematian.  Rasulullah r  bersabda,
“Dulu saya melarang kalian berziarah kubur. Sekarang berziarah kuburlah karena dalam melakukannya terdapat zuhud terhadap dunia dan mengingatkan akhirat.” (HR. Ibnu Majah).[3]
”Berziarah kuburlah, karena ziarah kubur itu mengingatkan kalian terhadap akhirat.” (HR. Ibnu Majah)[4]
Ziarah kubur itu sebuah perkara yang disunnahkan dengan tujuan untuk mengingat akhirat dan kematian.[5] Kebolehan ini hanya berlaku bagi laki-laki dan dilarang bagi wanita, karena akan mendatangkan fitnah bagi dirinya dan kaum laki-laki. Mayoritas wanita juga lemah, mudah bersedih dan sedikit kesabarannya. [6] Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas,”Nabi melaknat para wanita peziarah kubur.”(HR. Ibnu Majah)[7]
Kemudian adab kita ketika datang ke kuburan atau melewatinya maka berdo’a dengan mengucapkan,
 السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين و المسلمين, و إنا إن شاء الله  بكم لاحقون, أنتم فرطنا و نحن لكم تبع, أسأ ل الله لنا و لكم العافية
            Semoga keselamatan dari Allah Ta’ala senantiasa terlimpahkan kepada kalian  wahai para penduduk alam kubur, dari kaum mu’minin dan muslimin. In sya Allah kami pasti menyusul kalian. Kalian mendahului kami dan kami mengikuti. Saya memohom perlindungan kepada Allah Ta’ala buat kami, juga buat kalian.” (HR. Ahmad dan Muslim)[8]
Kemudian apa yang bisa kita berikan kepada mereka yang sudah meninggal? Sesungguhnya mereka yang berada di alam kubur telah terlepas dari perkara dunia. Dan apa yang diperbuat oleh orang-orang yang masih hidup tidak bermanfaat bagi mereka yang sudah meninggal kecuali ada dalil yang menyebutkan,[9] sebagaimana firman Allah Ta’ala,”Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Adapun yang dapat bermanfaat bagi mayit adalah:[10]
1.      Do’a kaum muslimin untuknya. Allah Ta’ala berfirman,”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a,”Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…” (QS. Al-Hasyr: 10)
2.      Melunasi hutangnya. Sebagaimana Abu Qatadah telah melunasi hutang seseorang yang telah meninggal dunia.
3.      Menggantikan puasanya. Hadits dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah r bersabda,”Barang siapa yang mati dan mempunyai hutang puasa, maka walinya menggantikan puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [11] Dan ini bersifat umum baik puasa Ramadhan maupun puasa untuk nadzar.
4.      Amal-amal shalih yang dikerjakan anaknya yang shalih. Allah Ta’ala berfirman, ”Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
5.      Yang ditinggalkannya dari amal shalih dan shadaqah jariyah. Rasulullah r bersabda, “Jika seseorang meninggal, amalnya sudah terputus, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kebaikan untuknya.” (HR. Muslim)

D.            Perkara yang tidak Boleh Dilakukan di Kuburan

Kita ketahui bersama bahwa kuburan itu bukan sembarang tempat yang di sana bisa melakukan segala hal. Banyak perkara yang dilarang dilakukan di sana. Diantara perkara-perkara yang dilarang ketika ziarah kubur adalah:
1.      Meminta do’a kepada para mayit. Ini termasuk syirik akbar (besar) karena meminta kepada selain Allah.[12]
2.      Niyahah (meratapi mayit). Rasulullah r bersabda,”Niyahah termasuk dari perkara jahiliyah….” (HR. Ibnu Majah)[13] dan sabda Beliau,”Sesungguhnya mayit itu disiksa dengan tangisan keluarga terhadapnya.” (HR. At-Tirmidzi)[14]
3.      Meminta pertolongan kepada mereka untuk menghilangkan malapetaka atau untuk mendatangkan mashlahat, dan ini termasuk syirik.
4.      Mencari berkah kepada para mayit.
Perkara-perkara di atas adalah bagian dari bid’ah dan tidak ada syari’atnya, Rasulullah r bersabda,”Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari perintah kami, maka amalan itu adalah tertolak.” (HR. Muslim)[15]

a.   Hukum Bacaan Al-Qur’an untuk Mayit

Untuk bacaan al-Qur-an yang dipersembahkan kepada mayit ada perselisihan diantara para ‘Ulama’. Jumhur mengatakan bahwa bacaan itu sampai kepada si mayit, namun untuk madzhab Syafi’i berpendapat bacaan itu tidak sampai kepada mayit. Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Ahmad bin Hanbal mengatakan,”Sesuatu yang baik akan sampai kepada mayit…”[16]

b.   Pemberian Nasehat di Kuburan

Banyak diantara masyarakat yang kurang mengetahui hal ini yaitu tentang pemberian nasehat di kuburan. Menurut Syaikh Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Abdullah al-‘Uroifi, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab, memberikan nasehat di atas kuburan adalah perkara yang tidak ada syari’atnya. Namun jika ada sebab, seperti melihat orang yang tertawa di atas kuburan, bermain-main, dan bersenda gurau, maka ini diperbolehkan untuk menasehatinya agar tidak ramai.[17]
            Imam Al-Bukhari mencantumkan satu bab di dalam kitab shahihnya,”Babu Mau’izhati al-Muhdats ‘Inda al-Qabri wa Qu’udu Ashhabihi Haulahu’ (Bab Nasehat yang diada-adakan di Kuburan dan Duduknya Para Sahabatnya di sekitar Kuburan). Dari bab ini, Al-Bukhari mengambil pendapat bahwa tidak mengapa memberikan nasehat di kuburan apabila dilakukan dengan cara khusus. Yaitu jika ada seseorang yang duduk di antara para sahabatnya untuk memberikan peringatan kepada mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi r. Mereka berdalil dengan hadits ‘Ali, beliau berkata,”Kami pernah mengurus jenazah di Baqi’ Al-Gharqad, lalu Nabi  r datang dan duduk, kami pun duduk di sekeliling beliau, kemudian beliau bersabda, “Tidaklah seorang diantara kalian, tidaklah ada jiwa yang bernafas melainkan telah ditulis tempat baginya di surga atau di neraka.” Para sahabat bertanya,”Tidakkah kita cukup bersandar kepada ketentuan yang sudah ditulis untuk kita.” Nabi r menjawab,”Tidak, beramalah. Sebab semua akan dipermudah pada tujuan dia diciptakan.”(HR. Al-Bukhari)[18]
            Adapun hal-hal di atas boleh dilakukan, namun berbeda jika seseorang semata-mata berdiri dan berkhutbah dihadapan para manusia saat mereka mengubur jenazah, maka hal ini tidak ada dasarnya dari Nabi r dan tidak patut dilakukan.[19]
Imam Al-Bukhari mengatakan: berbeda ketika dalam keadaan duduk-duduk, karena ada mashlahah yang berkaitan dengan hal-hal yang tercela (untuk dinasihati) dan mengingatkan kematian, maka ini tidak dimakruhkan sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah r. Namun jika tujuannya selain itu, maka dilarang.[20]

c.    Hukum Membicarakan Perkara Dunia di Kuburan

Untuk perkara dunia yang diperbincangkan di kuburan seperti membicarakan pertanian, perindustrian, perdagangan, jual beli, perjalanan, darmawisata dan lain sebagainya, maka hal ini jelas telah keluar dari tujuan disyari’atkannya ziarah kubur yaitu untuk mengingat kematian. Para ‘Ulama’ memakruhkan perkara yang seperti ini.[21]
            Sesungguhnya Rasulullah r memberi petunjuk supaya beristighfar untuk para mayit,”Mintakan ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Ta’ala buat dirinya, karena ia sekarang sedang ditanyai.” (HR. Abu Dawud) [22]

E.     Kesimpulan

Banyak diantara masyarakat yang masih menyalahgunakan ziarah kubur. Tujuan diadakannya ziarah kubur itu untuk mengingat kematian, namun sekarang banyak perkara-perkara yang dimakruhkan bahkan sampai perkara bid’ah yang semakin marak. Jelas ini keluar dari tujuan diadakannya ziarah kubur. Untuk perkara bid’ah jelas haram hukumnya.
Salah satu bentuk perkara yang makruh dikerjakan di dalam kuburan adalah membicarakan tentang dunia. Dalam kitab Fiqhun Nawazil fil ‘Ibadat karya Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, para ‘Ulama’ sepakat bahwa perkara ini dimakruhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung: PT Syamil Cipta Media.
Asifuddin, Ahmas Fais, Contoh-contoh Kemusyrikan yang membudaya, (PDF).
‘Asqalani,al-, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari bisyarhi Shahihil Bukhari, jilid: 3 Qahirah: Darul Hadits, 2004 M.
Jaziri,al-, ‘Abdurrahman, al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah, jilid: 1, Darut Taqwa.
Kamal, Abu Malik bin Sayyid Salim, Shahih Fiqih sunnah, jilid:1, Maktabah At-Taufiqiyyah.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Arab-Indonesia, edisi kedua, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Musyaiqih,al-, Khalid bin ‘Ali, fiqih Kontemporer, Terjemah, Klaten Utara: Inas Media, Juni 2008.
Musyaiqih,al-, Khalid bin ‘Ali, Fiqhun Nawazil fil ‘Ibadat, (PDF).
Muhammad, Abu ‘Isa bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, Beirut: Darul Fikr, 2009 M.
Qazwaini,al-, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, jilid: 1, Beirut: Lebanon, 2010 M.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Beirut: Darul Fikr, 1403 H/ 1983 M.
‘Uroifi,al-, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah, 148 Fatwa-Fatwa Seputar Jenazah, (PDF).
‘Utsaimin,al-, Muhammad bin Shalih (DKK), Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, Qahirah:: Dar, Ibnu Haitsam Agustus 2002 M.
‘Uqail bin Salim Asy-Syamri, Ta’liqat Tarbawiyah alal ‘Arba’in An-Nawawiyah (PDF).



[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, edisi kedua, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),  hal. 592
[2] ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah al-‘Uroifi, 148 Fatwa-Fatwa Seputar Jenazah, (PDF), hal. 96
[3] Abi ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini,, Sunan Ibnu Majah, jilid: 1, (Beirut: Lebanon, 2010 M), hal. 492
[4] Ibid.
[5]‘Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘alal Madzahibil Arba’ah, jilid: 1, (Darut Taqwa),  hal.  435
[6] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, (DKK), Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, (Qahirah:: Dar, Ibnu Haitsam Agustus 2002 M), hal. 143
[7] Abi ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, jilid: 1, (Beirut: Lebanon, 2010 M), hal. 493
[8] Sayyid Sabiq,  Fiqih Sunnah, (Beirut: Darul Fikr, 1403 H/ 1983 M), hal. 477    
[9] Abu Malik Kamal  bin Sayyid Salim, Shahih Fiqih sunnah, jilid:1, (Maktabah At-Taufiqiyyah), hal. 666
[10] Ibid. hal. 666-667
[11] Ibid. hal. 667
[12] Ahmas Fais Asifuddin, Contoh-contoh Kemusyrikan yang membudaya, (PDF) hal. 2
[13] Abi ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, jilid: 1, (Beirut: Lebanon, 2010 M), hal. 495
[14]Muhammad, Abu ‘Isa bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, (Beirut: Darul Fikr, 2009 M), hal. 305
[15] ‘Uqail bin Salim asy-Syamri, Ta’liqat Tarbawiyah alal ‘Arba’in An-Nawawiyah (PDF)
[16] Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, jilid: 1, (Beirut: Darul Fikr, 1403 H/ 1983 M), hal. 480
[17] ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah al-‘Uroifi, 148 Fatwa-Fatwa Seputar Jenazah, (PDF) hal. 92
[18] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisyarhi Shahihil Bukhari, jilid: 3, (Qahirah: Darul Hadits, 2004 M), hal. 256.  Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih,  Fiqih Kontemporer, Terjemah, (Klaten Utara: Inas Media, Juni 2008), hal. 174
[19] ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah al-‘Uroifi, 148 Fatwa-Fatwa Seputar Jenazah, (PDF) hal. 92
[20] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisyarhi Shahihil Bukhari, jilid: 3, (Qahirah: Darul Hadits, 2004 M), hal. 256
[21] Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Fiqhun Nawazil fil ‘Ibadat, (PDF) 1/ 87
[22] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqih sunnah, jilid:1, (Maktabah At-Taufiqiyyah), hal. 668

0 comments:

Post a Comment