A. Pendahuluan
Dewasa ini,
manusia semakin tenggelam ke dalam fatamorgana dunia. Banyak orang di sekitar
kita yang mengidap penyakit Wahn (cinta
dunia dan takut mati), padahal mengingat kematian merupakan kebutuhan seorang
hamba agar senantiasa menyiapkan bekal dengan amal shalih yang bisa membawanya
kepada kematian husnul khatimah, Allah Ta’ala berfirman,
“Dan tiada seorang jiwa pun yang mengetahui di
belahan bumi manakah ia akan mati.”(QS.
Luqman: 34).
Rasulullah r menganjurkan kepada umatnya agar senantiasa mengingat kematian,
salah satu caranya adalah dengan menziarahi kuburan. Namun, melihat fenomena di
akhir zaman ini, kuburan semakin disalahgunakan dan juga banyak ritual bid’ah
yang dikerjakan. Bahkan sebagian orang mendatangi kuburan tidak bertujuan untuk
mengingat kematian. Jelas, ini keluar dari tujuan diadakannya syari’at untuk
menziarahi kuburan. Sebab itu, penulis di sini berusaha memaparkan hal-hal yang
berkaitan dengan kuburan dari hal-hal yang diperbolehkan sampai yang dilarang
dilakukan di dalamnya.
B. Pengertian Ziarah
Menurut bahasa: Ziarah berasal dari bahasa arab زار-
يزور- زيارة yang artinya
mengunjungi.[1]
Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ziarah berarti mengunjungi ke
tempat pemakaman.
Menurut istilah syar’i: menziarahi kuburan dengan mengambil ibrah
dan nasehat juga untuk mengingatkan kita pada kematian.[2]
C. Mengingat Kematian dengan Menziarahi Kuburan
Menziarahi kuburan pada awalnya dilarang oleh Rasulullah r baik bagi laki-laki maupun wanita, karena untuk menghindari
kesyirikan yang akan terjadi, kemudian setelah Islam semakin meluas Rasulullah r membolehkannya, karena hal itu akan mengingatkan seseorang pada
kematian. Rasulullah r bersabda,
“Dulu saya melarang kalian berziarah kubur. Sekarang berziarah
kuburlah karena dalam melakukannya terdapat zuhud terhadap dunia dan
mengingatkan akhirat.” (HR. Ibnu
Majah).[3]
”Berziarah kuburlah, karena ziarah kubur itu mengingatkan kalian terhadap
akhirat.” (HR. Ibnu Majah)[4]
Ziarah kubur itu sebuah perkara yang disunnahkan dengan tujuan
untuk mengingat akhirat dan kematian.[5]
Kebolehan ini hanya berlaku bagi laki-laki dan dilarang bagi wanita, karena
akan mendatangkan fitnah bagi dirinya dan kaum laki-laki. Mayoritas wanita juga
lemah, mudah bersedih dan sedikit kesabarannya. [6]
Sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas,”Nabi melaknat para wanita peziarah kubur.”(HR.
Ibnu Majah)[7]
Kemudian adab kita ketika datang ke kuburan atau melewatinya maka
berdo’a dengan mengucapkan,
السلام عليكم أهل الديار
من المؤمنين و المسلمين, و إنا إن شاء الله
بكم لاحقون, أنتم فرطنا و نحن لكم تبع, أسأ ل
الله لنا و لكم العافية
“Semoga keselamatan dari Allah Ta’ala senantiasa terlimpahkan kepada
kalian wahai para penduduk alam kubur,
dari kaum mu’minin dan muslimin. In sya Allah kami pasti menyusul kalian. Kalian mendahului
kami dan kami mengikuti. Saya memohom perlindungan kepada Allah Ta’ala buat
kami, juga buat kalian.” (HR. Ahmad dan
Muslim)[8]
Kemudian apa yang bisa kita berikan kepada mereka yang sudah
meninggal? Sesungguhnya mereka yang berada di alam kubur telah terlepas dari
perkara dunia. Dan apa yang diperbuat oleh orang-orang yang masih hidup tidak
bermanfaat bagi mereka yang sudah meninggal kecuali ada dalil yang menyebutkan,[9]
sebagaimana firman Allah Ta’ala,”Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang
diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
Adapun yang dapat bermanfaat bagi mayit adalah:[10]
1.
Do’a
kaum muslimin untuknya. Allah Ta’ala berfirman,”Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a,”Ya Tuhan kami, ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami…” (QS. Al-Hasyr:
10)
2.
Melunasi
hutangnya. Sebagaimana Abu Qatadah telah melunasi hutang seseorang yang telah
meninggal dunia.
3.
Menggantikan
puasanya. Hadits dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah r bersabda,”Barang siapa yang mati dan mempunyai hutang puasa,
maka walinya menggantikan puasanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) [11] Dan ini bersifat umum baik puasa Ramadhan maupun puasa untuk nadzar.
4.
Amal-amal
shalih yang dikerjakan anaknya yang shalih. Allah Ta’ala berfirman, ”Dan
bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
5.
Yang
ditinggalkannya dari amal shalih dan shadaqah jariyah. Rasulullah r bersabda, “Jika seseorang meninggal, amalnya sudah terputus,
kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo’akan kebaikan untuknya.” (HR. Muslim)
D. Perkara yang tidak Boleh Dilakukan di Kuburan
Kita ketahui bersama bahwa kuburan itu bukan sembarang tempat yang
di sana bisa melakukan segala hal. Banyak perkara yang dilarang dilakukan di
sana. Diantara perkara-perkara yang dilarang ketika ziarah kubur adalah:
1.
Meminta
do’a kepada para mayit. Ini termasuk syirik akbar (besar) karena meminta
kepada selain Allah.[12]
2.
Niyahah
(meratapi mayit). Rasulullah r bersabda,”Niyahah termasuk dari perkara jahiliyah….” (HR.
Ibnu Majah)[13]
dan sabda Beliau,”Sesungguhnya mayit itu disiksa dengan tangisan keluarga
terhadapnya.” (HR. At-Tirmidzi)[14]
3.
Meminta
pertolongan kepada mereka untuk menghilangkan malapetaka atau untuk
mendatangkan mashlahat, dan ini termasuk syirik.
4.
Mencari
berkah kepada para mayit.
Perkara-perkara di atas adalah bagian dari bid’ah dan tidak
ada syari’atnya, Rasulullah r bersabda,”Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari
perintah kami, maka amalan itu adalah tertolak.” (HR. Muslim)[15]
a. Hukum Bacaan Al-Qur’an untuk Mayit
Untuk bacaan al-Qur-an yang dipersembahkan kepada mayit ada
perselisihan diantara para ‘Ulama’. Jumhur mengatakan bahwa bacaan itu sampai
kepada si mayit, namun untuk madzhab Syafi’i berpendapat bacaan itu tidak
sampai kepada mayit. Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Ahmad bin Hanbal
mengatakan,”Sesuatu yang baik akan sampai kepada mayit…”[16]
b. Pemberian Nasehat di Kuburan
Banyak diantara masyarakat yang kurang mengetahui hal ini yaitu
tentang pemberian nasehat di kuburan. Menurut Syaikh Abdul ‘Aziz bin Muhammad
bin Abdullah al-‘Uroifi, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab,
memberikan nasehat di atas kuburan adalah perkara yang tidak ada syari’atnya.
Namun jika ada sebab, seperti melihat orang yang tertawa di atas kuburan,
bermain-main, dan bersenda gurau, maka ini diperbolehkan untuk menasehatinya
agar tidak ramai.[17]
Imam Al-Bukhari mencantumkan satu
bab di dalam kitab shahihnya,”Babu Mau’izhati al-Muhdats ‘Inda al-Qabri wa
Qu’udu Ashhabihi Haulahu’ (Bab Nasehat yang diada-adakan di Kuburan dan
Duduknya Para Sahabatnya di sekitar Kuburan). Dari bab ini, Al-Bukhari
mengambil pendapat bahwa tidak mengapa memberikan nasehat di kuburan apabila
dilakukan dengan cara khusus. Yaitu jika ada seseorang yang duduk di antara
para sahabatnya untuk memberikan peringatan kepada mereka, sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi r. Mereka berdalil dengan hadits ‘Ali, beliau berkata,”Kami pernah
mengurus jenazah di Baqi’ Al-Gharqad, lalu Nabi r datang dan duduk, kami pun duduk di sekeliling beliau, kemudian
beliau bersabda, “Tidaklah seorang diantara kalian, tidaklah ada jiwa yang
bernafas melainkan telah ditulis tempat baginya di surga atau di neraka.” Para
sahabat bertanya,”Tidakkah kita cukup bersandar kepada ketentuan yang sudah
ditulis untuk kita.” Nabi r menjawab,”Tidak, beramalah. Sebab semua akan dipermudah pada
tujuan dia diciptakan.”(HR. Al-Bukhari)[18]
Adapun hal-hal di atas boleh
dilakukan, namun berbeda jika seseorang semata-mata berdiri dan berkhutbah
dihadapan para manusia saat mereka mengubur jenazah, maka hal ini tidak ada
dasarnya dari Nabi r dan tidak patut dilakukan.[19]
Imam Al-Bukhari mengatakan: berbeda ketika dalam keadaan duduk-duduk,
karena ada mashlahah yang berkaitan dengan hal-hal yang tercela (untuk
dinasihati) dan mengingatkan kematian, maka ini tidak dimakruhkan sebagaimana
apa yang dilakukan Rasulullah r. Namun jika tujuannya selain itu, maka dilarang.[20]
c. Hukum Membicarakan Perkara Dunia di Kuburan
Untuk perkara dunia yang diperbincangkan di kuburan seperti
membicarakan pertanian, perindustrian, perdagangan, jual beli, perjalanan, darmawisata
dan lain sebagainya, maka hal ini jelas telah keluar dari tujuan
disyari’atkannya ziarah kubur yaitu untuk mengingat kematian. Para ‘Ulama’
memakruhkan perkara yang seperti ini.[21]
Sesungguhnya Rasulullah r memberi petunjuk supaya beristighfar untuk para mayit,”Mintakan
ampun buat saudara kalian. Dan mintakan ketetapan kepada Allah Ta’ala buat
dirinya, karena ia sekarang sedang ditanyai.” (HR. Abu Dawud) [22]
E. Kesimpulan
Banyak diantara masyarakat yang masih menyalahgunakan ziarah kubur.
Tujuan diadakannya ziarah kubur itu untuk mengingat kematian, namun sekarang
banyak perkara-perkara yang dimakruhkan bahkan sampai perkara bid’ah yang
semakin marak. Jelas ini keluar dari tujuan diadakannya ziarah kubur. Untuk
perkara bid’ah jelas haram hukumnya.
Salah satu bentuk perkara yang makruh dikerjakan di dalam kuburan
adalah membicarakan tentang dunia. Dalam kitab Fiqhun Nawazil fil ‘Ibadat
karya Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih, para ‘Ulama’ sepakat bahwa perkara ini
dimakruhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya, Bandung: PT Syamil Cipta Media.
Asifuddin,
Ahmas Fais, Contoh-contoh Kemusyrikan yang membudaya, (PDF).
‘Asqalani,al-,
Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari bisyarhi Shahihil Bukhari, jilid: 3 Qahirah: Darul Hadits, 2004 M.
Jaziri,al-,
‘Abdurrahman, al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah, jilid: 1, Darut Taqwa.
Kamal, Abu
Malik bin Sayyid Salim, Shahih Fiqih sunnah, jilid:1, Maktabah
At-Taufiqiyyah.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Arab-Indonesia, edisi
kedua, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Musyaiqih,al-, Khalid bin ‘Ali, fiqih Kontemporer, Terjemah,
Klaten Utara: Inas Media, Juni 2008.
Musyaiqih,al-, Khalid
bin ‘Ali, Fiqhun Nawazil fil ‘Ibadat, (PDF).
Muhammad, Abu
‘Isa bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, Beirut: Darul Fikr, 2009 M.
Qazwaini,al-,
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, jilid: 1, Beirut:
Lebanon, 2010 M.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Beirut:
Darul Fikr, 1403 H/ 1983 M.
‘Uroifi,al-,
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah, 148 Fatwa-Fatwa Seputar Jenazah,
(PDF).
‘Utsaimin,al-, Muhammad
bin Shalih (DKK), Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, Qahirah:: Dar, Ibnu
Haitsam Agustus 2002 M.
‘Uqail bin Salim Asy-Syamri, Ta’liqat Tarbawiyah alal ‘Arba’in
An-Nawawiyah (PDF).
[1] Ahmad Warson
Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, edisi kedua, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), hal. 592
[2] ‘Abdul ‘Aziz
bin Muhammad bin ‘Abdullah al-‘Uroifi, 148 Fatwa-Fatwa Seputar Jenazah,
(PDF), hal. 96
[3] Abi ‘Abdillah
Muhammad bin Yazid al-Qazwaini,, Sunan Ibnu Majah, jilid: 1, (Beirut:
Lebanon, 2010 M), hal. 492
[4] Ibid.
[6] Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin, (DKK), Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, (Qahirah::
Dar, Ibnu Haitsam Agustus 2002 M), hal. 143
[7] Abi ‘Abdillah
Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, jilid: 1, (Beirut:
Lebanon, 2010 M), hal. 493
[9] Abu Malik
Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqih
sunnah, jilid:1, (Maktabah At-Taufiqiyyah), hal. 666
[10] Ibid.
hal. 666-667
[11] Ibid.
hal. 667
[12] Ahmas Fais
Asifuddin, Contoh-contoh Kemusyrikan yang membudaya, (PDF) hal. 2
[13] Abi ‘Abdillah
Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, jilid: 1, (Beirut:
Lebanon, 2010 M), hal. 495
[14]Muhammad, Abu
‘Isa bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, jilid: 2, (Beirut: Darul Fikr, 2009 M), hal. 305
[15] ‘Uqail bin
Salim asy-Syamri, Ta’liqat Tarbawiyah alal ‘Arba’in An-Nawawiyah (PDF)
[16] Sabiq, Sayyid,
Fiqih Sunnah, jilid: 1, (Beirut: Darul Fikr,
1403 H/ 1983 M), hal. 480
[17] ‘Abdul ‘Aziz
bin Muhammad bin ‘Abdullah al-‘Uroifi, 148 Fatwa-Fatwa Seputar Jenazah,
(PDF) hal. 92
[18] Ahmad bin ‘Ali
bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisyarhi Shahihil Bukhari, jilid: 3,
(Qahirah: Darul
Hadits, 2004 M), hal. 256. Khalid bin ‘Ali
al-Musyaiqih, Fiqih Kontemporer, Terjemah, (Klaten
Utara: Inas Media, Juni 2008), hal. 174
[19] ‘Abdul ‘Aziz
bin Muhammad bin ‘Abdullah al-‘Uroifi, 148 Fatwa-Fatwa Seputar Jenazah,
(PDF) hal. 92
[20] Ahmad bin ‘Ali
bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari bisyarhi Shahihil Bukhari, jilid: 3,
(Qahirah: Darul
Hadits, 2004 M), hal. 256
[21] Khalid bin
‘Ali al-Musyaiqih, Fiqhun Nawazil fil ‘Ibadat, (PDF) 1/ 87
[22] Abu Malik
Kamal bin Sayyid Salim, Shahih Fiqih sunnah, jilid:1, (Maktabah
At-Taufiqiyyah), hal. 668
0 comments:
Post a Comment